Saturday, September 07, 2013

Ospek oh Ospek


Thanks God, musim ospek akhirnya selesai sudah. Akhirnya aku bisa bernafas lebih rileks dari sepekan belakangan ini. Sekalipun serangkaian ospek itu bukan aku yang menjalaninya, melainkan adikku, tetapi aku juga ikutan sibuk ngurusin ini-itu yang diperlukannya. Termasuk aku jadi ojeg pribadinya.

Aku tidak tahu kenapa aku sangat tidak menyukai segala hal yang berlabel MOS. Kalo boleh kuperjelas sejujurnya aku membenci rangkaian kegiatan itu. Aku tidak suka segala macam rupa tentang kegiatan MOS yang lebih popular dikenal sebagai ospek. Tak peduli apapun jenis kegiatannya, rangkaian acaranya, dan entahlah apapun embel-embelnya, aku tidak suka. Mau di tingkat SMP kek, mau di tingkat SMA kek, atau bahkan di jenjang perkuliahan sekalipun, atas nama pribadi dan naluri yang kupunya, sejujurnya aku amat sangat tidak suka pada kegiatan itu.

Bertopeng wajah sebagai masa perkenalan (maha)siswa pada lingkungan barunya yang bernama sekolah atau kampus, nyatanya kebanyakan ajang ini adalah ajang gila-gilaan untuk kakak kelas bertindak “brutal” kepada adik kelas barunya. Bentuk “kebrutalan” itu tentu saja dalam segala rupa. Dan sebagai anak baru di lingkungan yang belum pernah mereka tapaki secara familiar, si anak baru tak bisa berbuat apa-apa selain hanya TERPAKSA manut pada PERINTAH sang kakak kelas. Dan dengan keterpaksaan itu, si kakak kelas dengan pongahnya berdiri tegak bahwa merekalah sang penguasa. Heran deh, sampai sekarang aku masih bingung, apa sih yang di cari mereka (kakak kelas) dari segala rangkaian ospek yang menyebalkan itu? Karena dari kebanyakan acara serupa, acara ini lebih condong pada label kekuasaan untuk menunjukkan siapa berkuasa atas siapa. Ga perlu mikir berlama-lama, sedetik pasca dilontarkannya pertanyaan itu secara spontan semua orang sudah mendapatkannya jawabannya.

Secara tolol kuakui, aku tidak tahu apa manfaat rangkaian kegiatan ini. Dari fase MOS yang sudah pernah kulewati, yang terrekam dalam otakku adalah acara ini lebih banyak buruknya ketimbang manfaatnya. Muatan yang bermutu paling hanya sesi yang di isi oleh pihak ademik kampus yang biasanya langsung di isi oleh dosen, dekan, atau rektor. Sedangkan di jenjang sekolah lanjutan  bisa di isi oleh guru ataupun kepala sekolah. Itu pun paling-paling hanya beberapa sesi aja, dan mungkin tidak lebih dari 2 jam dalam satu sesinya. Okelah dalam satu hari itu ada 2-3 sesi dari pihak sekolah/kampusnya, tapi selebihnya? Bisa dipastikan itu adalah daerah jajahannya kakak kelas.

Dan apa yang dilakukan kakak kelas pada kesempatan yang dimilikinya? Kebanyakan adalah MARAH-MARAH GA JELAS!!! Mereka seakan sengaja mencari-cari kesalahan adik kelasnya yang terpaksa budiman menerima suara sampah kakak kelas mereka. Sebagian mungkin tidak mendengarkan dan tidak peduli, tapi sebagian lagi mungkin mengutuk dalam hati. Dan dalam hal ini, pihak-pihak yang mengutuk dalam hati bisa dipastikan lebih banyak. Siapa coba yang mau dimarah-marahin tanpa putus? Siapa yang sudi melihat ada mulut yang sukanya nyerocos melulu sepanjang hari? Dan cerocosan-cerocosan  yang meluncur adalah nada-nada tinggi dan menyebalkan? Hohoho, kalo aku sih sorry-sorry ajah. Ogah banget hariku dirusak orang.

Oh aku lupa, dari catatan ingatanku, bahkan semenjak pagi-pagi sekali kakak kelas itu sudah marah-marah. Lazimnya karena keterlambatan (maha)siswa, maupun karena ada barang-barang yang tidak di bawa oleh adik kelas. Ini seolah jadi makanan empuk buat menggiling si adik mungil. Hukuman beragam pun sudah dipersiapkan. Hukuman ini tak hanya berefek pada fisik melainkan juga psikologis. Ketika seseorang “disakiti” secara fisik, bukankah itu juga membuka peluang lebar bagi kesakitan psikologis? Andai saja mereka sadar, dampak ini lebih berbahaya dari sakit fisik. Tidakkah mereka ingat bagaimana rasanya dulu diperlakukan begitu? Lalu kenapa mereka kini melanjutkan perputaran roda yang mereka benci dulu? Ya Tuhan, ternyata manusia cepat sekali amnesia.

Itu masih dari segi perkataan, nyatanya dari segi tindakan menjejakkan kesakitan juga. Bahkan yang ini terkesan lebih parah. Bukankah perkataan selalu bersanding dengan tindakan? Untuk memudahkan kuberi sampel yang ialah adik kandungku sendiri.
Sebelumnya kuberitahu, dari rundown acara yang disebarkan, rangkaian acara akan di mulai pukul 5 pagi. Yes, jam 5 pagi pemirsa. Ini protes pertama dariku. Entah acara apa yang bisa di isi sepagi itu. MaBa diminta adzan subuh kesiangan kah? Atau mengisi kultum? Tapi nyatanya 2 hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat kampus itu bukanlah kampus islami. Mahasiswanya beragama dan berkeyakinan beragam. Bagiku, rasanya jam 5 pagi untuk acara MOS tetap tidak masuk akal. Pengkondisian MaBa tidak perlu lah sepagi itu. Sepagi-paginya jam 6 lah. Saat langit tidak lagi gelap. Kalo jam 5 pagi sih amat sangat kepagian. Pengkondisian paling-paling hanya memakan waktu 1-1,5 jam. Ga ada salahnya juga kan rangkaian acara sesiang-siangnya dimulai jam 8 pagi? Malah enak buat semuanya. Heran juga kenapa rundown acara sepagi itu bisa di acc sang rektor. Huft. Padahal dari buku yang kubaca, sepagi itu malaikat masih turun di muka bumi mencari hamba-hamba Tuhan yang beramal sholeh. Jam 5 pagi kan bisa di pake MaBa yang muslim buat berdialog dengan Tuhannya melalui ayat-ayat Tuhan. Bisa memberatkan timbangan amal kebaikannya kelak di akhirat. Enaknya, bisa didoain malaikat lagi. Lha ini masa urusan duniawi sepagi itu? Agaknya mereka hendak saingan dengan Malaikat atau bahkan dengan Tuhan. So, which one do you choose? Memilih tunduk di hadapan kakak kelas yang akan mengeluarkan perkataan dengan nada tinggi padamu atau tunduk pada Khalikmu? So, re-think again who we are!

Dan inilah aplikasi sampel yang kujanjikan. Aku mengantar adikku telat. Yayaya, bisa ditebak perlakuan apa yang diterima adikku dari kakak kelasnya. Ketika mengahadap kakak kelas di pintu masuk, dia sudah di sambut dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Aku bahkan mendengar dan melihat adikku di bentak dengan nada tinggi. Hukuman juga tentu saja sudah menantinya. Aku juga sempat melihat adikku disuruh lari-lari entah untuk hitungan berapa. Untuk hukuman ini pasti akan menguras fisik dan tenaga. Pemandanganku berhenti hingga disitu karena aku harus pulang dan menjemputnya lagi sore nanti. Sepulangnya dari acara itu, aku tanya ke adikku bagaimana keseluruhan acara MOS-nya. Sudah bisa ditebak, catatan merah pun tercap jelas. Bahkan sangat jelas. Catatan panitia pengurus sangat buruk. Karena ada banyak MaBa yang kehilangan bekal makanan dan minuman yang memang diminta untuk dibawa. Panitia tidak menyediakan konsumsi makan siang buat MaBa-nya. MaBa diminta membawa bekalnya masing-masing yang ditaruh diwadah tas karton dari kampus. Karena penampilan luar tas yang seragam, banyak tas yang tertukar. Dan parahnya panitia tidak bertanggungjawab atas itu. Enak banget ya mereka lepas tangan gitu aja?? Ini yang paling menyakitkan, sebagai gantinya, MaBa yang kehilangan bekal makanannya mendapat jatah satu nasi bungkus dan satu botol atau bahkan satu cup air mineral yang harus dibagi untuk 4 orang. ASTAGA OH OH ASTAGA! MENYAKITKAN!!! Aku ga tau dimana tanggungjawab mereka. Jika tidak mampu, ya tidak usah jadi panitia. Padahal dari daftar bawaan yang harus dibawa bersifat WAJIB. Masing-masing benda terhitung jumlah bawaannya, jadi kalau kurang atau kelebihan sudah ada hukumannya masing-masing. Apalagi kalau tidak bawa sama sekali. Hukuman akan sangat jelas menanti. Tapi giliran kehilangan begini gimana coba? Bolehkah mereka yang kehilangan menghukum panitia? Jawabannya TENTU SAJA TIDAK. So, sangat jelas ajang MOS hanya sekedar membedakan si penguasa dan si lemah tak berdaya. Amat sangat tidak fair.

Oh ya, catatan buruk belum berakhir. Kejadian di atas adalah kejaian di hari pertama. Di hari kedua, MaBa masih diminta membawa barang-barang wajib yang lebih condong pada bekal makanan dan minuman. Jadi sepulangnya dari MOS, kami pun berburu makanan yang terdaftar untuk dibawa. Karena daftarnya adalah makanan, aku pun tergoda untuk beli jajan. Tapi setelah di kosnya, aku lupa memindahkan cemilanku dari tas daftar makanannya. Jadilah itu terbawa sampai besok di MOS-nya. Jadinya dia membawa jajanan lebih banyak dari yang diminta. Berselang 2 hari dari ospek itu, aku tiba-tiba teringat dengan jajananku itu, dan kutanyalah pada adikku perihal jajanku. Dan tahukah jawaban apa yang kudapat? Sebuah jawaban yang menyengangkan sekaligus bikin geleng2 kepala. Bagaimana tidak? Jajanku habis, bukan karena dimakan adikku tapi karena disita seniornya yang “kelaparan”. Bahkan perkara kelebihan jajan pun tidak boleh. ASTAGA! Benarkah mereka manusia? Tidak bisa tidak aku tidak menggelengkan kepala. Bukankah lebih baik kelebihan ketimbang kekurangan? Padahal jika kekurangan pun mereka belum tentu sanggup memenuhinya, lalu mengapa jika berlebih dan belum sampai pada titik berlebihan mereka harus “selapar” itu? Ya Tuhan. Masih mending disita untuk disimpan sementara dan kemudian dikembalikan setelah ospek selesai. Karena bagaimanapun, itu bukan hak mereka. Ini tidak. Jajanku pun raib pada mereka yang “kelaparan”.

Dalam hal ini, poinnya tidak terletak pada jajannya. Jajanku cuma sedikit kok. Ga bernilai-nilai amat. Tapi sikap dan kelakuan mereka itu loh yang ga pantas. Kok ya sekaklek itu pada peraturan? Kok ya setamak itu sebagai manusia? Bagaimanapun, itu bukan hak mereka. Kenapa mereka begitu-begitu amat? Kenapa mereka tega mengambil apa-apa yang bukan hak mereka. Padahal untuk urusan ini, mereka akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Bagaimanapun mereka sudah tergolong mencuri. Aku tidak ridho dengan cara mereka. Itu artinya mereka makan makanan haram. Silahkan saja makan makanan itu dengan nikmat tanpa keluar uang, tapi cobalah bercermin lebih dalam pada diri sendiri. Hanya sebatas itukah harga dirimu dinilai orang lain? Apakah kau izinkan tubuhmu memakan makanan yang asal-usulnya  haram? Ya Tuhan. Aku benar-benar tidak habis fikir. Kenapa mereka tidak berfikir lebih jauh. Padahal setiap perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari akhir langsung dihadapan Tuhannya.

Disini sekali lagi titik poinnya tidak terletak pada jajannya, melainkan pada cara mereka. Atas nama kesenioritasan dan kekuasaan, mereka telah mencuri hak-hak orang lain. Ah lihatlah, betapa ospek itu cuma menindas adik kelas saja. Atas kejadian ini, aku wanti-wanti kepada adikku agar tidak terlibat pada urusan kepanitiaan MaBa. Mereka yang senior hanya akan memperjelas catatan merah kepribadian mereka saja di depan adik-adik kelasnya. Dan tentu saja dikutuk, meskipun hanya dalam hati. Sebagai manusia yang adalah makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan, tidakkah kita bisa memanusiakan manusia lain? Perlakukanlah manusia dengan manusiawi. Hey, wake up. You are human. I am human. She is human. He is human. They are human. And we are human. So, let’s be the real human and keep humanity.

No comments:

Post a Comment