Thanks God, musim ospek akhirnya selesai sudah. Akhirnya aku
bisa bernafas lebih rileks dari sepekan belakangan ini. Sekalipun serangkaian
ospek itu bukan aku yang menjalaninya, melainkan adikku, tetapi aku juga ikutan
sibuk ngurusin ini-itu yang diperlukannya. Termasuk aku jadi ojeg pribadinya.
Aku tidak tahu kenapa aku sangat tidak menyukai segala hal
yang berlabel MOS. Kalo boleh kuperjelas sejujurnya aku membenci rangkaian
kegiatan itu. Aku tidak suka segala macam rupa tentang kegiatan MOS yang lebih
popular dikenal sebagai ospek. Tak peduli apapun jenis kegiatannya, rangkaian
acaranya, dan entahlah apapun embel-embelnya, aku tidak suka. Mau di tingkat
SMP kek, mau di tingkat SMA kek, atau bahkan di jenjang perkuliahan sekalipun,
atas nama pribadi dan naluri yang kupunya, sejujurnya aku amat sangat tidak
suka pada kegiatan itu.
Bertopeng wajah sebagai masa perkenalan (maha)siswa pada
lingkungan barunya yang bernama sekolah atau kampus, nyatanya kebanyakan ajang
ini adalah ajang gila-gilaan untuk kakak kelas bertindak “brutal” kepada adik
kelas barunya. Bentuk “kebrutalan” itu tentu saja dalam segala rupa. Dan
sebagai anak baru di lingkungan yang belum pernah mereka tapaki secara
familiar, si anak baru tak bisa berbuat apa-apa selain hanya TERPAKSA manut
pada PERINTAH sang kakak kelas. Dan dengan keterpaksaan itu, si kakak kelas
dengan pongahnya berdiri tegak bahwa merekalah sang penguasa. Heran deh, sampai
sekarang aku masih bingung, apa sih yang di cari mereka (kakak kelas) dari
segala rangkaian ospek yang menyebalkan itu? Karena dari kebanyakan acara
serupa, acara ini lebih condong pada label kekuasaan untuk menunjukkan siapa
berkuasa atas siapa. Ga perlu mikir berlama-lama, sedetik pasca dilontarkannya
pertanyaan itu secara spontan semua orang sudah mendapatkannya jawabannya.
Secara tolol kuakui, aku tidak tahu apa manfaat rangkaian
kegiatan ini. Dari fase MOS yang sudah pernah kulewati, yang terrekam dalam
otakku adalah acara ini lebih banyak buruknya ketimbang manfaatnya. Muatan yang
bermutu paling hanya sesi yang di isi oleh pihak ademik kampus yang biasanya
langsung di isi oleh dosen, dekan, atau rektor. Sedangkan di jenjang sekolah
lanjutan bisa di isi oleh guru ataupun
kepala sekolah. Itu pun paling-paling hanya beberapa sesi aja, dan mungkin
tidak lebih dari 2 jam dalam satu sesinya. Okelah dalam satu hari itu ada 2-3
sesi dari pihak sekolah/kampusnya, tapi selebihnya? Bisa dipastikan itu adalah
daerah jajahannya kakak kelas.
Dan apa yang dilakukan kakak kelas pada
kesempatan yang dimilikinya? Kebanyakan adalah MARAH-MARAH GA JELAS!!! Mereka
seakan sengaja mencari-cari kesalahan adik kelasnya yang terpaksa budiman
menerima suara sampah kakak kelas mereka. Sebagian mungkin tidak mendengarkan
dan tidak peduli, tapi sebagian lagi mungkin mengutuk dalam hati. Dan dalam hal
ini, pihak-pihak yang mengutuk dalam hati bisa dipastikan lebih banyak. Siapa
coba yang mau dimarah-marahin tanpa putus? Siapa yang sudi melihat ada mulut
yang sukanya nyerocos melulu sepanjang hari? Dan cerocosan-cerocosan yang meluncur adalah nada-nada tinggi dan
menyebalkan? Hohoho, kalo aku sih sorry-sorry ajah. Ogah banget hariku dirusak
orang.
Oh aku lupa, dari catatan ingatanku, bahkan semenjak pagi-pagi sekali
kakak kelas itu sudah marah-marah. Lazimnya karena keterlambatan (maha)siswa,
maupun karena ada barang-barang yang tidak di bawa oleh adik kelas. Ini seolah
jadi makanan empuk buat menggiling si adik mungil. Hukuman beragam pun sudah
dipersiapkan. Hukuman ini tak hanya berefek pada fisik melainkan juga
psikologis. Ketika seseorang “disakiti” secara fisik, bukankah itu juga membuka
peluang lebar bagi kesakitan psikologis? Andai saja mereka sadar, dampak ini
lebih berbahaya dari sakit fisik. Tidakkah mereka ingat bagaimana rasanya dulu diperlakukan
begitu? Lalu kenapa mereka kini melanjutkan perputaran roda yang mereka benci dulu?
Ya Tuhan, ternyata manusia cepat sekali amnesia.
Itu masih dari segi perkataan, nyatanya dari segi tindakan
menjejakkan kesakitan juga. Bahkan yang ini terkesan lebih parah. Bukankah
perkataan selalu bersanding dengan tindakan? Untuk memudahkan kuberi sampel
yang ialah adik kandungku sendiri.
Sebelumnya kuberitahu, dari rundown acara yang disebarkan,
rangkaian acara akan di mulai pukul 5 pagi. Yes, jam 5 pagi pemirsa. Ini protes
pertama dariku. Entah acara apa yang bisa di isi sepagi itu. MaBa diminta adzan
subuh kesiangan kah? Atau mengisi kultum? Tapi nyatanya 2 hal ini tidak mungkin
dilakukan mengingat kampus itu bukanlah kampus islami. Mahasiswanya beragama
dan berkeyakinan beragam. Bagiku, rasanya jam 5 pagi untuk acara MOS tetap tidak
masuk akal. Pengkondisian MaBa tidak perlu lah sepagi itu. Sepagi-paginya jam 6
lah. Saat langit tidak lagi gelap. Kalo jam 5 pagi sih amat sangat kepagian. Pengkondisian
paling-paling hanya memakan waktu 1-1,5 jam. Ga ada salahnya juga kan rangkaian
acara sesiang-siangnya dimulai jam 8 pagi? Malah enak buat semuanya. Heran juga
kenapa rundown acara sepagi itu bisa di acc sang rektor. Huft. Padahal dari
buku yang kubaca, sepagi itu malaikat masih turun di muka bumi mencari
hamba-hamba Tuhan yang beramal sholeh. Jam 5 pagi kan bisa di pake MaBa yang
muslim buat berdialog dengan Tuhannya melalui ayat-ayat Tuhan. Bisa memberatkan
timbangan amal kebaikannya kelak di akhirat. Enaknya, bisa didoain malaikat
lagi. Lha ini masa urusan duniawi sepagi itu? Agaknya mereka hendak saingan
dengan Malaikat atau bahkan dengan Tuhan. So, which one do you choose? Memilih
tunduk di hadapan kakak kelas yang akan mengeluarkan perkataan dengan nada
tinggi padamu atau tunduk pada Khalikmu? So, re-think again who we are!
Dan inilah aplikasi sampel yang kujanjikan. Aku mengantar
adikku telat. Yayaya, bisa ditebak perlakuan apa yang diterima adikku dari
kakak kelasnya. Ketika mengahadap kakak kelas di pintu masuk, dia sudah di
sambut dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Aku bahkan mendengar
dan melihat adikku di bentak dengan nada tinggi. Hukuman juga tentu saja sudah
menantinya. Aku juga sempat melihat adikku disuruh lari-lari entah untuk
hitungan berapa. Untuk hukuman ini pasti akan menguras fisik dan tenaga. Pemandanganku
berhenti hingga disitu karena aku harus pulang dan menjemputnya lagi sore
nanti. Sepulangnya dari acara itu, aku tanya ke adikku bagaimana keseluruhan
acara MOS-nya. Sudah bisa ditebak, catatan merah pun tercap jelas. Bahkan
sangat jelas. Catatan panitia pengurus sangat buruk. Karena ada banyak MaBa
yang kehilangan bekal makanan dan minuman yang memang diminta untuk dibawa.
Panitia tidak menyediakan konsumsi makan siang buat MaBa-nya. MaBa diminta
membawa bekalnya masing-masing yang ditaruh diwadah tas karton dari kampus.
Karena penampilan luar tas yang seragam, banyak tas yang tertukar. Dan parahnya
panitia tidak bertanggungjawab atas itu. Enak banget ya mereka lepas tangan gitu
aja?? Ini yang paling menyakitkan, sebagai gantinya, MaBa yang kehilangan bekal
makanannya mendapat jatah satu nasi bungkus dan satu botol atau bahkan satu cup
air mineral yang harus dibagi untuk 4 orang. ASTAGA OH OH ASTAGA! MENYAKITKAN!!!
Aku ga tau dimana tanggungjawab mereka. Jika tidak mampu, ya tidak usah jadi
panitia. Padahal dari daftar bawaan yang harus dibawa bersifat WAJIB.
Masing-masing benda terhitung jumlah bawaannya, jadi kalau kurang atau
kelebihan sudah ada hukumannya masing-masing. Apalagi kalau tidak bawa sama
sekali. Hukuman akan sangat jelas menanti. Tapi giliran kehilangan begini
gimana coba? Bolehkah mereka yang kehilangan menghukum panitia? Jawabannya
TENTU SAJA TIDAK. So, sangat jelas ajang MOS hanya sekedar membedakan si
penguasa dan si lemah tak berdaya. Amat sangat tidak fair.
Oh ya, catatan buruk belum berakhir. Kejadian di atas adalah
kejaian di hari pertama. Di hari kedua, MaBa masih diminta membawa
barang-barang wajib yang lebih condong pada bekal makanan dan minuman. Jadi
sepulangnya dari MOS, kami pun berburu makanan yang terdaftar untuk dibawa.
Karena daftarnya adalah makanan, aku pun tergoda untuk beli jajan. Tapi setelah
di kosnya, aku lupa memindahkan cemilanku dari tas daftar makanannya. Jadilah
itu terbawa sampai besok di MOS-nya. Jadinya dia membawa jajanan lebih banyak
dari yang diminta. Berselang 2 hari dari ospek itu, aku tiba-tiba teringat
dengan jajananku itu, dan kutanyalah pada adikku perihal jajanku. Dan tahukah
jawaban apa yang kudapat? Sebuah jawaban yang menyengangkan sekaligus bikin
geleng2 kepala. Bagaimana tidak? Jajanku habis, bukan karena dimakan adikku
tapi karena disita seniornya yang “kelaparan”. Bahkan perkara kelebihan jajan pun
tidak boleh. ASTAGA! Benarkah mereka manusia? Tidak bisa tidak aku tidak
menggelengkan kepala. Bukankah lebih baik kelebihan ketimbang kekurangan?
Padahal jika kekurangan pun mereka belum tentu sanggup memenuhinya, lalu
mengapa jika berlebih dan belum sampai pada titik berlebihan mereka harus “selapar”
itu? Ya Tuhan. Masih mending disita untuk disimpan sementara dan kemudian
dikembalikan setelah ospek selesai. Karena bagaimanapun, itu bukan hak mereka. Ini
tidak. Jajanku pun raib pada mereka yang “kelaparan”.
Dalam hal
ini, poinnya tidak terletak pada jajannya. Jajanku cuma sedikit kok. Ga
bernilai-nilai amat. Tapi sikap dan kelakuan mereka itu loh yang ga pantas. Kok
ya sekaklek itu pada peraturan? Kok ya setamak itu sebagai manusia? Bagaimanapun,
itu bukan hak mereka. Kenapa mereka begitu-begitu amat? Kenapa mereka tega
mengambil apa-apa yang bukan hak mereka. Padahal untuk urusan ini, mereka akan
berhadapan langsung dengan Tuhan. Bagaimanapun mereka sudah tergolong mencuri.
Aku tidak ridho dengan cara mereka. Itu artinya mereka makan makanan haram. Silahkan
saja makan makanan itu dengan nikmat tanpa keluar uang, tapi cobalah bercermin
lebih dalam pada diri sendiri. Hanya sebatas itukah harga dirimu dinilai orang
lain? Apakah kau izinkan tubuhmu memakan makanan yang asal-usulnya haram? Ya Tuhan. Aku benar-benar tidak habis
fikir. Kenapa mereka tidak berfikir lebih jauh. Padahal setiap perbuatan
manusia akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari akhir langsung
dihadapan Tuhannya.
Disini sekali lagi titik poinnya tidak terletak pada
jajannya, melainkan pada cara mereka. Atas nama kesenioritasan dan kekuasaan,
mereka telah mencuri hak-hak orang lain. Ah lihatlah, betapa ospek itu cuma
menindas adik kelas saja. Atas kejadian ini, aku wanti-wanti kepada adikku agar
tidak terlibat pada urusan kepanitiaan MaBa. Mereka yang senior hanya akan
memperjelas catatan merah kepribadian mereka saja di depan adik-adik kelasnya.
Dan tentu saja dikutuk, meskipun hanya dalam hati. Sebagai manusia yang adalah
makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan, tidakkah kita bisa memanusiakan manusia
lain? Perlakukanlah manusia dengan manusiawi. Hey, wake up. You are human. I am
human. She is human. He is human. They are human. And we are human. So, let’s be
the real human and keep humanity.
No comments:
Post a Comment