Sunday, August 11, 2013

Bahagia di Titik Nol


Kalaulah boleh aku meminta pada-Mu, aku ingin setiap saat Kau menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Sebab hanya dengan begitu aku bisa mengosongkan jiwaku. Berpasrah pada-Mu. Menerima takdir-Mu sebagai jalan hidup yang tak ingin kutolak, tak ingin kuhindari. Hingga segalanya bisa kuterima sepenuhnya dengan lapang dada dan hati terbuka. Tak ada sesal yang menyelimuti. Tak ada sakit yang menunggu sembuh. Sepenuhnya bisa kunikmati.


Kusadari bahwa segala hal yang terjadi dalam hidupku adalah kontrak hidup yang sudah Kau goreskan. Tak sedikitpun aku mampu menghindarinya. Tak sefase pun aku bisa melewatkannya. Namun Kau tahu aku hanya makhluk ciptaan-Mu yang lemah. Yang sesekali mencoba dan berpura-pura tangguh untuk meniti jalan yang sudah Kau pilihkan untukku. Tapi di balik itu semua, nyatanya aku masih sangat rapuh. Aku tak lebih hanya berpura-pura tangguh. Sementara Kau tahu pasti gemuruh yang bercokol kokoh di hatiku.


Tak terlalu sulit memang bagi-Mu, tapi bagiku itu laksana batu kerikil kecil nan tajam, pun banyak, yang bisa menggemboskan ban sepedaku. Setelah itu, aku tak punya lain pilihan, selain harus berjalan kaki menempuh sisa perjalananku yang belum selesai. Lengkap dengan menuntun sepedaku yang gembos karena kerikil-Mu. Berjalan dengan tungkai kaki yang lemah ditambah beban menggiring sepeda yang gembos itu, bebanku pun terasa lebih berat. Padahal Kau tahu persis jarak tempuhku tidak pendek.


Tapi apa guna aku mengeluh? Hanya akan mengkerdilkan ketegapan jalanku. Mendiskreditkan kekuatanku yang masih jauh tersembunyi. Sebab itulah aku ingin Kau selalu menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Kalaulah permintaanku itu terlalu berlebihan, setidaknya Kau bersedia menyisipkan beberapa detik saja titik nol padaku dalam setiap hari-hari yang Kau hadiahkan untukku. Sebab dalam titik nol itulah aku bisa sepenuhnya berserah pada-Mu. Ridha atas goresan takdir-Mu. Dan bisa sedikit saja merasa bahagia atas itu. Sebab titik bahagiaku ada pada titik nol-Mu. Bahagiaku adalah saat Kau memelukku erat. Saat aku tak mampu meminta apa-apa pada-Mu, saat aku tak mampu berkata apa pun kepada-Mu, hanya pengaduan lirih yang terlalu bergemuruh di kalbu. Pengaduan yang kubahasakan lewat deraian airmata. Namun, justru di titik itulah aku lekat dengan bahagiaku. Karena Kau memelukku erat dengan kasih-Mu. 

No comments:

Post a Comment