Friday, May 15, 2015

Stay Away



Saya selalu heran tiap kali melihat anak berseragam sekolah, kok ya sudah pandai merokok. Ironisnya, mereka merokok tanpa dosa. Dalam artian mereka dengan gampangnya mengisap rokok di sembarang tempat. Seperti pagi tadi misalnya, saat saya mau berangkat kerja.  Di perempatan lampu merah, saya menemukan dua anak lelaki berseragam sekolah dengan santainya merokok di jalan raya. Dua-duanya. Yang dibonceng dan juga yang membonceng. Saya melihat mereka dengan tatapan ironi. Mereka seakan tidak lagi peduli dengan lingkungan sekitar. Tidak lagi mengindahkan seragam yang sedang mereka kenakan. Padahal tentu saja seragam itu lah yang seharusnya mereka banggakan. Seharusnya seandainya pun mereka pandai merokok, mereka mampu beradaptasi. Mereka bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Tidak terang-terangan mengumbar kebiasaan buruk mereka di sembarang tempat. Sebab bagaimanpun, mereka belum pandai menghasilkan uang sendiri. Mereka belum seharusnya mengenal erat benda itu. Menurut saya, mereka belum pantas berprilaku seperti itu.

Saya selalu sedih tiap kali melihat orang yang gemar merokok. Bahwa merokok telah menjadi bad habbit in their daily activities. Bahwa mereka sulit sekali stay away dari dzat beracun itu. Bahwa mereka tak sanggup melewatkan hari tanpa mengisap sebatang rokok pun. Bahwa mereka tak sanggup melampaui hari tanpa meracuni organ-organ tubuh mereka sendiri. Saya sedih sekali tiap kali melihat orang yang barangkali dengan bangganya  mengisap rokok dan racun2 yang terkandung didalamnya. Berpura-pura tak paham bahaya dari kebiasaan buruk yang sayangnya mereka sukai . Berpura-pura menutup mata bahwa keluarga meraka sedih dengan kebiasaan mereka. Kesedihan saya menjadi bertambah berkali-kali lipat jika mereka adalah orang-orang yang saya sayangi. Lingkungan yang saya kenali dan kasihi. Bapak adalah salah satunya.

Dari tiga lelaki di rumah kami, bapak satu-satunya lelaki dewasa yang merokok di keluarga kecil kami. Bapak termasuk smoker berat. Dalam sehari bapak bisa menghabiskan beberapa batang rokok. Saya sedih tiap kali melihat bapak memindahkan kandungan racun di dalam rokok tersebut kedalam tubuhnya. But, I can do nothing but praying that he will be okay. But I know, it’s such kind of impossible, right? Saya hanya bisa berdo’a semoga banyak bisa segera berhenti sekalipun saya tak pernah paham seberapa keras Bapak mencobanya. But I thank God, dua adik lelakiku bukanlah seorang pecandu rokok. Tak sekalipun aku pernah melihat mereka merokok di hadapanku. Bagaimana jika dibelakangku? Dibelakang keluargaku? Tanpa sepengetahuan keluargaku? Saya selalu berfikiran positif bahwa mereka tidak. Sebab setahuku, sulit sekali kan bagi mereka yang perokok untuk terus-terusan sembunyi untuk tidak merokok? Sulit sekali kan untuk terus-terusan menahan? Dua lelakiku ini, jika mereka di rumah, mereka tak pernah dekat-dekat dengan korek api, atau pemantik api apapun.

Saya cerita begini, bukan bermaksud membuka aib keluarga sendiri. Keterbatasan saya untuk menjauhkan bapak dari rokok, itu lah yang paling saya sedihkan. Tapi berdasarkan dari apa yang saya lihat, saya membangun mimpi bahwa nanti jikalau saya sudah bersuami, saya ingin suami saya bersih dari asap rokok. Walaupun saya belum tahu sih siapa orang yang akan menjadi suami saya nanti. Tapi paling tidak, saya ingin berperan aktif dalam menghentikannya dari aktifitas merokok. Syukur2 saat nanti saya diperistri olehnya, saya sudah panen. Saya tinggal terima beresnya. Lol

Tak peduli seberapa beratnya calon suami saya nanti di cap sebagai smoker, saya optimis saya bisa membawa kebaikan pada hidupnya. Walaupun akan dilakukan secara perlahan-lahan. Sebab tak ada yang berani jamin hasil instan,bukan? 

Bukannya saya mau besar kepala, tapi inilah faktanya. 2 dari 3 mantan kekasih saya mulai belajar stay away dari rokok. 2 dari mereka, saya ikut mendampingi proses kenonaktifan mereka. Pernah sih mereka sesekali curi-curi merokok di belakang saya, tanpa sepengetahuan saya, tapi berdasarkan hasil interogerasi saya mereka akhirnya tak sanggup berbohong. Ada malah yang karena curi-curi merokok, karena system tubuhnya sudah menolak, dia akhirnya batuk2. Lumyan lama pula batuknya. Dan sejujurnya saya bersyukur atas respon tubuhnya yang demikian. Jadinya kan dia mikir2 kalo mau merokok lagi. Dengan atau tanpa saya larang. Tubuhnya otomatis sudah mendeteksi racun. Jadinya kan beban saya lebih ringan. Hehe.

Tentang the other man, ini orang candunya menurut saya juga lumayan berat. Kalo ga dibatasi mungkin saya lama-lama ikut dia racuni juga. Bukan untuk mengisap rokok juga, bukan itu, sebab saya ga pernah tertarik untuk coba2 merokok, tapi dia bisa2 meracuni saya dengan kandungan dzat dalam rokok tersebut. Kan jatuhnya saya jadi perokok aktif. Menghirup asap rokoknya juga selagi saya ada di dekatnya. Ga maulah saya. Jaga kesehatan itu susah, eh malah dia mau merusak usaha saya. Rugi lah saya. Akhirnya saya membatasi dia untuk ga merokok di dekat saya. Paling tidak selagi dia bersama saya. Saya ga mau dia meracuni tubuhnya sendiri, tapi lebih dari itu, saya ga mau diracuni olehnya.  Akhirnya pelan-pelan dia mau mengikuti aturan main saya. Lol *tersenyum bangga* But a bad news I a got this afternoon, nih orang udah berani coba2 merokok lagi. Alasannya sih karena di gunung dingin. Cuma di gunung doang kok. Huft. Agak kecewa saya. Komitmen orang ini kurang tebal dan kurang kuat.

Ah, saya jadi mendadak ingat. Mantan kekasih saya yang lain juga sedang usaha untuk stay away dari rokok. Tapi untuk lelaki satu ini, saya tidak menemani prosesnya. Saya buta tentang usahanya. Saya bahkan ga tahu kalau dia perokok. Solanya dulu kita LDR-an. Pun saat kita ketemu, dia pintar. Dia ga pernah merokok di depan saya. Di dekat saya. What a cute man, right. Haha. Saya tahunya dia merokok saat telponan sama dia, iseng2 tanya gitu. Eh dia jawabnya gitu. Rasanya bersyukur banget dihargai sebegitu tingginya. Makasih loh ya,,,

Oh ya, ceritanya kan saya sekarang ini sedang jatuh hati (sekaligus patah hati).Nah, lelaki yang saya jatuhi cinta ini ya sayangnya termasuk smoker. Sedih deh saya. Apalagi saya ga punya kapasitas untuk mengingatkannya.  Apalah saya baginya. Siapalah saya baginya. Saya bukan apa-apa. Saya cuma seseorang yang hanya berani memandanginya dari jauh. Dari maya dan semu. Rasanya ada nyeri saat melihat dia begitu akrabnya dengan lintingan rokok ditangannya. Menghisap asap kedalam rongga paru-parunya. Mungkin juga jantungnya. Masuk kedalam serambi kanan dan kirinya, bilik kanan dan kirinya. Rasanya saya gak kuat menyaksikan pemandangan itu. Tiap kali liat dia merokok, saya melihat begitu banyak tekanan pada dirinya. Mungkin baginya merekok semacam stress healing. Ada yang ingin dia alihkan. Tanpa dia sadari, dia mengalihkan berbagai racun kedalam tubuhnya. Rasanya pengen banget saya mematikan rokoknya dan membuangnya jauh2. Gak peduli dia ga cinta sama saya, paling tidak dia cinta lah sama dirinya sendiri. Dia rawatlah kesehatan fisiknya demi orang2 yang kini dan kelak ia kasihi cinta. Saya ingin mengingatkan bahwa dia seharusnya mulai belajar untuk stay away dari rokok sebelum ia kecanduan parah. Tapi lagi2, siapalah saya. Kalo bahasa kekiniannya “aku mah apa atuh”.

Nah, gitu. Jadi pada intinya, saya gak tahu cerita ini tentang apa. Tapi saya percaya bahwa kalian, para pembaca saya, lebih pintar menangkap kesimpulannya. Lebih memahami makna yang tersirat dalam tulisan ini. Saya hanya berharap, kelak lelaki yang saya kasihi termasuk orang yang mencintai diri sendiri dan keluarganya. Mengasihi dengan hal sederhana, salah satunya menjauhkan diri dari asap rokok. Aktif maupun pasif. Itu saja.

No comments:

Post a Comment