Saya selalu heran tiap kali melihat anak berseragam sekolah,
kok ya sudah pandai merokok. Ironisnya, mereka merokok tanpa dosa. Dalam artian
mereka dengan gampangnya mengisap rokok di sembarang tempat. Seperti pagi tadi
misalnya, saat saya mau berangkat kerja.
Di perempatan lampu merah, saya menemukan dua anak lelaki berseragam
sekolah dengan santainya merokok di jalan raya. Dua-duanya. Yang dibonceng dan
juga yang membonceng. Saya melihat mereka dengan tatapan ironi. Mereka seakan tidak
lagi peduli dengan lingkungan sekitar. Tidak lagi mengindahkan seragam yang
sedang mereka kenakan. Padahal tentu saja seragam itu lah yang seharusnya mereka
banggakan. Seharusnya seandainya pun mereka pandai merokok, mereka mampu
beradaptasi. Mereka bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Tidak terang-terangan
mengumbar kebiasaan buruk mereka di sembarang tempat. Sebab bagaimanpun, mereka
belum pandai menghasilkan uang sendiri. Mereka belum seharusnya mengenal erat
benda itu. Menurut saya, mereka belum pantas berprilaku seperti itu.
Saya selalu sedih tiap kali melihat orang yang gemar
merokok. Bahwa merokok telah menjadi bad habbit in their daily activities. Bahwa
mereka sulit sekali stay away dari dzat beracun itu. Bahwa mereka tak sanggup
melewatkan hari tanpa mengisap sebatang rokok pun. Bahwa mereka tak sanggup melampaui
hari tanpa meracuni organ-organ tubuh mereka sendiri. Saya sedih sekali tiap
kali melihat orang yang barangkali dengan bangganya mengisap rokok dan racun2 yang terkandung didalamnya.
Berpura-pura tak paham bahaya dari kebiasaan buruk yang sayangnya mereka sukai
. Berpura-pura menutup mata bahwa keluarga meraka sedih dengan kebiasaan
mereka. Kesedihan saya menjadi bertambah berkali-kali lipat jika mereka adalah
orang-orang yang saya sayangi. Lingkungan yang saya kenali dan kasihi. Bapak
adalah salah satunya.
Dari tiga lelaki di rumah kami, bapak satu-satunya lelaki
dewasa yang merokok di keluarga kecil kami. Bapak termasuk smoker berat. Dalam
sehari bapak bisa menghabiskan beberapa batang rokok. Saya sedih tiap kali
melihat bapak memindahkan kandungan racun di dalam rokok tersebut kedalam
tubuhnya. But, I can do nothing but praying that he will be okay. But I know, it’s
such kind of impossible, right? Saya hanya bisa berdo’a semoga banyak bisa
segera berhenti sekalipun saya tak pernah paham seberapa keras Bapak mencobanya.
But I thank God, dua adik lelakiku bukanlah seorang pecandu rokok. Tak
sekalipun aku pernah melihat mereka merokok di hadapanku. Bagaimana jika
dibelakangku? Dibelakang keluargaku? Tanpa sepengetahuan keluargaku? Saya
selalu berfikiran positif bahwa mereka tidak. Sebab setahuku, sulit sekali kan
bagi mereka yang perokok untuk terus-terusan sembunyi untuk tidak merokok? Sulit
sekali kan untuk terus-terusan menahan? Dua lelakiku ini, jika mereka di rumah,
mereka tak pernah dekat-dekat dengan korek api, atau pemantik api apapun.
Saya cerita begini, bukan bermaksud membuka aib keluarga
sendiri. Keterbatasan saya untuk menjauhkan bapak dari rokok, itu lah yang
paling saya sedihkan. Tapi berdasarkan dari apa yang saya lihat, saya membangun
mimpi bahwa nanti jikalau saya sudah bersuami, saya ingin suami saya bersih
dari asap rokok. Walaupun saya belum tahu sih siapa orang yang akan menjadi
suami saya nanti. Tapi paling tidak, saya ingin berperan aktif dalam
menghentikannya dari aktifitas merokok. Syukur2 saat nanti saya diperistri
olehnya, saya sudah panen. Saya tinggal terima beresnya. Lol
Tak peduli seberapa beratnya calon suami saya nanti di cap sebagai
smoker, saya optimis saya bisa membawa kebaikan pada hidupnya. Walaupun akan
dilakukan secara perlahan-lahan. Sebab tak ada yang berani jamin hasil
instan,bukan?
Bukannya saya mau besar kepala, tapi inilah faktanya. 2 dari
3 mantan kekasih saya mulai belajar stay away dari rokok. 2 dari mereka, saya
ikut mendampingi proses kenonaktifan mereka. Pernah sih mereka sesekali
curi-curi merokok di belakang saya, tanpa sepengetahuan saya, tapi berdasarkan
hasil interogerasi saya mereka akhirnya tak sanggup berbohong. Ada malah yang
karena curi-curi merokok, karena system tubuhnya sudah menolak, dia akhirnya
batuk2. Lumyan lama pula batuknya. Dan sejujurnya saya bersyukur atas respon
tubuhnya yang demikian. Jadinya kan dia mikir2 kalo mau merokok lagi. Dengan
atau tanpa saya larang. Tubuhnya otomatis sudah mendeteksi racun. Jadinya kan
beban saya lebih ringan. Hehe.
Tentang the other man, ini orang candunya menurut saya juga
lumayan berat. Kalo ga dibatasi mungkin saya lama-lama ikut dia racuni juga. Bukan
untuk mengisap rokok juga, bukan itu, sebab saya ga pernah tertarik untuk coba2
merokok, tapi dia bisa2 meracuni saya dengan kandungan dzat dalam rokok
tersebut. Kan jatuhnya saya jadi perokok aktif. Menghirup asap rokoknya juga
selagi saya ada di dekatnya. Ga maulah saya. Jaga kesehatan itu susah, eh malah
dia mau merusak usaha saya. Rugi lah saya. Akhirnya saya membatasi dia untuk ga
merokok di dekat saya. Paling tidak selagi dia bersama saya. Saya ga mau dia meracuni
tubuhnya sendiri, tapi lebih dari itu, saya ga mau diracuni olehnya. Akhirnya pelan-pelan dia mau mengikuti aturan
main saya. Lol *tersenyum bangga* But a bad news I a got this afternoon, nih
orang udah berani coba2 merokok lagi. Alasannya sih karena di gunung dingin. Cuma
di gunung doang kok. Huft. Agak kecewa saya. Komitmen orang ini kurang tebal
dan kurang kuat.
Ah, saya jadi mendadak ingat. Mantan kekasih saya yang lain
juga sedang usaha untuk stay away dari rokok. Tapi untuk lelaki satu ini, saya
tidak menemani prosesnya. Saya buta tentang usahanya. Saya bahkan ga tahu kalau
dia perokok. Solanya dulu kita LDR-an. Pun saat kita ketemu, dia pintar. Dia ga
pernah merokok di depan saya. Di dekat saya. What a cute man, right. Haha. Saya
tahunya dia merokok saat telponan sama dia, iseng2 tanya gitu. Eh dia jawabnya
gitu. Rasanya bersyukur banget dihargai sebegitu tingginya. Makasih loh ya,,,
Oh ya, ceritanya kan saya sekarang ini sedang jatuh hati
(sekaligus patah hati).Nah, lelaki yang saya jatuhi cinta ini ya sayangnya
termasuk smoker. Sedih deh saya. Apalagi saya ga punya kapasitas untuk
mengingatkannya. Apalah saya baginya. Siapalah
saya baginya. Saya bukan apa-apa. Saya cuma seseorang yang hanya berani
memandanginya dari jauh. Dari maya dan semu. Rasanya ada nyeri saat melihat dia
begitu akrabnya dengan lintingan rokok ditangannya. Menghisap asap kedalam
rongga paru-parunya. Mungkin juga jantungnya. Masuk kedalam serambi kanan dan
kirinya, bilik kanan dan kirinya. Rasanya saya gak kuat menyaksikan pemandangan
itu. Tiap kali liat dia merokok, saya melihat begitu banyak tekanan pada
dirinya. Mungkin baginya merekok semacam stress healing. Ada yang ingin dia
alihkan. Tanpa dia sadari, dia mengalihkan berbagai racun kedalam tubuhnya. Rasanya
pengen banget saya mematikan rokoknya dan membuangnya jauh2. Gak peduli dia ga
cinta sama saya, paling tidak dia cinta lah sama dirinya sendiri. Dia rawatlah
kesehatan fisiknya demi orang2 yang kini dan kelak ia kasihi cinta. Saya ingin
mengingatkan bahwa dia seharusnya mulai belajar untuk stay away dari rokok
sebelum ia kecanduan parah. Tapi lagi2, siapalah saya. Kalo bahasa kekiniannya “aku
mah apa atuh”.
Nah, gitu. Jadi pada intinya, saya gak tahu cerita ini
tentang apa. Tapi saya percaya bahwa kalian, para pembaca saya, lebih pintar
menangkap kesimpulannya. Lebih memahami makna yang tersirat dalam tulisan ini. Saya
hanya berharap, kelak lelaki yang saya kasihi termasuk orang yang mencintai
diri sendiri dan keluarganya. Mengasihi dengan hal sederhana, salah satunya
menjauhkan diri dari asap rokok. Aktif maupun pasif. Itu saja.
No comments:
Post a Comment