Apa yang akan diobrolkan dua gadis manis berusia 26 tahun disela-sela waktu makan siang mereka? Yap, tak lain tak bukan adalah obrolan tentang pernikahan. Ianya adalah kegalauan massif gadis2 seumuran kami yang belum menikah.
Diusia ini ada kegalauan tersendiri yang tak mungkin bisa ditepis. Sekalipun kita mencoba mengelus dada, meminta untuk bersabar pada diri sendiri. Mencoba meyakinkan bahwa nanti akan tiba saatnya. Akan datang masanya. Walaupun semua itu masih teramat rahasia. Jadi ya ga perlu lah terlalu khawatir2 amat mikirin itu semua. Toh semua sudah ada jalannya. Namun semenit kemudian kita sudah tersentak, tersadar akan usia kita. Dan pertanyaan pamungkas pun kembali rajin memantul. "Sudah berapa usia saya? Kapan saya menikah? Dengan siapa?" Dan seabrek pertanyaan galau lainnya pun menggema. Kegalauan massif itu pun mau tidak mau kembali merongrong. Menusuk lebih tajam dan lebih dalam. Mengelak? Cuma bikin lelah saja.
Tiap kali ketemu keluarga atau teman sebaya yang ditanyakan ga pernah jauh2 dari seputar masalah pernikahan. Mula-mula hanya tentang percakapan ringan, santai dan basa-basa busuk. Tapi tetap aja ujung2nya akan sampai pada pertanyaan pamungkas juga. "Kamu gimana sekarang? Masih sama yang dulu? Siapa ituh nama masnya? Terus terus kapan nikah?" Pertanyaan manis yang dilontarkan dengan semangat berapi-api. Huft. Padahal sadar ga sih mereka tanpa ditanyakan pun tanya itu setiap hari memantul dalam rongga dada kita, eh saya? Nambah beban saja.
Terbukti. Tadi, sewaktu makan siang saya dan teman saya saling menanyakan pertanyaan yang sebenarnya paling kami hindarkan. Seingat saya, saya tidak membuka percakapan ini lebih dulu sebab saya tak punya bahan cerita apa2 untuk dibagikan. Tapi satu pertanyaan sudah terluncur dengan sangat hati-hati, selanjutnya pertanyaan beruntun sudah siap menanti. Kami yang sama2 tak paham dengan teori seputar pernikahan siang tadi berpura-pura paham. Kami mencoba membuka teka-teki tabirnya. Tentu saja dengan segenap teori terbatas yang kami berdua punya.
Setelah puas bertukar cerita, saya bisa tarik satu garis besar obrolan kami siang tadi. Adalah seputar sindrom pra-nikah. Sebenarnya apa itu sindrom pra-nikah? Benarkah ia ada? Saya yang baru2 ini terpaksa melupakan mimpi tentang dunia yang sangat ingin saya sentuh itu tiba2 tersadar barangkali kemarin itu saya hanya merasakan fase ini, sindrom pra-nikah. Namun, tanpa berdalih menyelamatkan diri sendiri bisa saya katakan bahwa titik masalah saya tidak sesederhana itu. Saya mengakhiri karena menyadari saya dan kekasih saya kemarin tidak bisa selaras dalam berkompromi. Hingga akhirnya mau tak mau hubungan kami terpaksa kandas dipersimpangan jalan.
Apa lagi yang paling diharapkan seorang wanita berusia 26 tahun kepada kekasihnya? Tentu saja ikatan istimewa. Bukan, tentu saja bukan seikat bunga beragam jenis dan warna yang dikirimkan setiap hari. Sekalipun itu bunga favoritnya. Ikatan yang paling diidamkan adalah ikatan tali nikah. Ikatan itu akan dimulai dengan sebuah acara khitbah temu keluarga yang pantas yang digelar dikediaman sang wanita. Tapi sebelum beranjak pada titik ini, si wanita akan dirongrong oleh beragam pertanyaan yang bisa bikin kepala migrain. Siklus haidh bisa2 tak lancar. Pertanda stress mengintai.
Saya ga pernah tahu apa yang ada di isi kepala lelaki yang akan memutuskan bahwa dia siap untuk menikah. Siap untuk melamar. Apakah sama seperti yang wanita pikirkan? Menumpuk beribu keraguan? Duhai, susah memang jadi wanita. Sebuah lamaran dari lelaki terkasihnya adalah impian yang paling diidam2kan. Tapi ketika si lelaki memberanikan diri ingin berkunjung melamar si wanita mendadak bingung. Beragam ketakutan rame2 menyerang. Beragam pertanyaan tanpa tahu antre datang. Benarkah telah tiba waktunya? Benarkah kontrak takdir sudah menyapa? Benarkah dia orangnya? Benarkah dia jodoh saya? Selanjutnya, pertanyaan lain dengan senang hati akan susul menyusul menyusup. Dan bersiap-siaplah tak nyenyak tidur.
Sekalipun saya wanita, tapi saya ga tahu kenapa wanita begitu takut ketika memutuskan "oke, saya siap menikah. Sekarang. Bersama dia yang ada di depan mata saya. Dia yang datang melamar saya. Sekarang. Bukan nanti. Bukan bersama si A, B, C, D, atau E sampe Z.".
Kesiapan wanita untuk menikah adalah satu keputusan besar yang harus difikirkan dengan sejumlah pertimbangan. Bejibun penyelarasan. Barangkali itulah keputusan paling besar sekaligus paling sulit yang harus dihadapi wanita sepanjang hidupnya. Berani memutuskan untuk hidup sepanjang usia bersama satu lelaki yang sama yang ia sendiri tak tahu apakah benar ini dia jodohnya. Apakah tepat pilihannya. Apakah keraguan semacam ini wajar bagi wanita? Saya beneran ga tahu.
Saya memang belum pernah secara beneran dan resmi dilamar oleh satu lelaki. Kalau wacana sih sudah. Tapi apa mau dikata, barangkali belum rezeki saya. Saya juga belum tahu bagaimana rasanya dihantam keraguan menjadi calon istri dari seorang lelaki. Tapi yang bisa saya bagi disini, yang entah apakah sama dengan ketakutan2 wanita diluar sana, saya takut dengan pilihan saya. Saya takut saya keliru arah. Saya takut saya tidak bisa menyeimbangkan ego saya yang terlampau tinggi dan berbahaya ini. Saya takut jikalau nanti saya lebih banyak menyakiti ketimbang berbagi kasih. Saya takut saya tidak mampu menempatkan diri ditengah2 keluarga besar calon suami saya. Saya takut saya tidak bisa memasak sesuai seleranya. Seenak masakan ibunya. Saya takut saya gagal menjadi peneduh lahir dan jiwanya. Saya takut bahwa bukan saya lah alasan dan tujuan hidupnya. Saya takut kalau2 bukan saya lah tempat berpulangnya satu2nya. Saya takut kalau saya bukan penyejuk bagi rumah kediamannya. Yang lebih parah, saya takut kalau2 ternyata saya hidup bersama lelaki yang tidak mencintai saya. Ketakutan lain yang paling bikin ngeri ialah saya takut kalau2 ternyata saya menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Seingin-inginnya saya menikah, sebisa mungkin saya menghindari yang satu ini. Saya bisa mati berdiri jika ini terjadi.
Oh ya, ketakutan lain tentu saja masih setia mengelilingi. Saya takut kalau2 ternyata lelaki yang menikahi saya diam2 masih menyisakan cinta untuk wanita lain selain ibunya. Saya takut menapaki kisah hidup baru yang kata kebanyakan orang jauh berbeda dengan kisah percintaan selagi berpacaran. Saya takut berbagi kisah hidup yang sama sekali saya tak tahu alurnya. Yang pada akhirnya saya tahu kesemuanya itu menarik seutas benang merah. SAYA TAKUT TIDAK BAHAGIA. Bila diijinkan menjabarkan turunan dari kata diatas, saya hanya punya satu turunan saja. Saya takut tidak bahagia bersama pilihan hidup saya. Itu saja. Satu ketakutan dasar yang membikin saya harus berfikir jernih sebelum mempersilakan satu lelaki berkunjung ke rumah saya nun jauh disana demi bertemu ibu bapak dan sanak keluarga saya. Sebelum mengiyakan satu lamaran seorang lelaki. Sebelum berani mengangguk dan memutuskan mantap "ya, saya bersedia." Tepat dihadapan ibu bapak dan segenap keluarga tercinta.
Ah... sebenarnya pun saya tak paham benar apa yang saya takutkan. Sama tak paham kebahagian seindah apa yang saya imajikan, yang coba saya ingin wujudkan. Apa itu bahagia?? Barangkali saya juga tak mengerti apa itu bahagia. Barangkalipun saya tidak punya bingkainya. Yang pada akhirnya kata bahagia bagi saya hanya meyisakan beribu tanda tanya. Huft, ketololan macam apa ini yang menyerang calon pengantin wanita, eh, yang menyerang saya?
Bahagia. Adalah kebutuhan mutlak setiap insan. Tujuan yang paling diharap2kan. Oh, tentu saja Ini hanya rumusan sederhana saya. Sekalipun saya tak mengerti apa2 tentang bahagia; sama seperti kita tak paham tentang hidup tapi toh pada akhirnya Tuhan mengijinkan kita untuk hidup dan menghidupi (kita berkewajiban belajar darisana), toh Tuhan dengan sangat berbaik hati menghadiahi dan mengamati kita untuk menjalani hidup yang sama sekali tak kita pahami; saya rasa setiap insan layak berbahagia. Berbahagia karena merdeka dengan pilihannya. Berbahagia dengan caranya sendiri. Dengan jalannya sendiri. Lengkap dengan paket konsekuensinya sendiri2.
Terimakasih.
No comments:
Post a Comment