Ada yang ingin kutumpahkan lewat tulisan-tulisanku di jurnal pribadiku ini. Tapi entah kenapa akhir2 ini aku enggan menulis. Enggan mengeksplorasi segala hal yang ada di kepala. Sekalipun aku ingin. Hmmm, rasanya aku kehilangan esensi dari menulis itu sendiri. Dulu aku bebas menulis apa saja. Peduli apa dengan komentar orang lain. Suka, alhamdulillah. Ga suka, ya gak apa2. Aku ga pernah ambil pusing.
Kini agaknya ingatanku mulai luntur dengan niatanku dulu sewaktu membuat akun ini. Ini semacam jurnal kehidupanku sehari-hari yang bebas bisa kuisi dengan apa saja. Tulisan sampah. Foto bedebah. Dan segala macamnya. Ya, semacam diary lah. Kerennya, jurnal ini mampu merekam dengan sempurna setiap detil waktu kronologi. Mengalahkan memori otakku yang volumenya hanya sepersekian mililiter saja. Oh ya, dan itulah alasanku menulis. Karena aku sadar, amat sangat sadar dengan kemampuan otakku. Paling2 aku hanya mampu mengingat beberapa momen saja. Itu pun tidak pernah sedetil kejadian sebenarnya. Selalu ada hal2 yang terlupakan. Atau memang sengaja dilupakan. Dan aku memang seorang yang pelupa berat. Ga sedikit orang2 terdekatku yang kecewa sama beratnya karena aku kerangkali melupakan momen2 kebersamaan yang bagi mereka tidak terlupakan, atau mungkin tidak layak untuk dilupakan.
Aku sedih. Aku kehilangan greget untuk menulis. Oh damn, bahkan juga membaca. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku pergi ke toko buku dan membawa pulang sesuatu darisana. Lupa kapan terakhir kali aku membaca, juga lupa buku (si)apa yang kubaca. Tanpa aktifitas baca tulis, aku kosong. Sama kosongnya seperti jurnal ini tanpa tulisan. Dan otomatis akan menghadirkan kekosongan lain yang berantai. Kekosongan pembaca. Kekosongan rasa. Kekosongan jiwa.
Keenggananku untuk menulis memang beralasan. Paling tidak buat diriku sendiri. Aku yang akhir2 ini kelewat introvert menjadi alasan utama yang tak bisa kutepis. Ya, beberapa tahun belakangan aku memang ekstrim berubah. Paling tidak itulah penilaian jujur dariku tentang diriku sendiri. Ironis memang. Oke, lupakan. Kita tidak sedang membicarakan ini. Hmmm, lalu apa hubungannya introvert dengan dunia tulis menulis? Ini alasannya.
Dulu aku mengemas niatan menulis dengan formula yang sangat sederhana. Bahwa esensi menulis adalah untuk menulis. Menulis tanpa tendensi apa-apa. Tanpa pretensi apa-apa. Terserah mau menulis apa saja, toh ini satu2nya media yang kupunya untuk bersuara. Terserah mau nama sesiapa saja yang ingin kukristalkan di jurnal sampah ini. Menjadi abadi bersama tinta tak bercetak. Menjadi lestari bersama cerita sederhana yang sengaja kualurkan lewat bahasa rasa. Ya, seharusnya mereka berbangga. Tapi, justru disitulah alasannya. Keintrovertanku membuat tulisanku mandek.
Aku kehilangan esensi menulis itu. Aku kehilangan kata2. Aku kehilangan rasa. Segala rasaku direnggut paksa dariku. Tanpa permisi. Dan aku tak ingin membuat dia berbangga dengan tulisan yang sengaja kurangkai untuk dia. Rasa itu pada akhirnya membendungku. Membatasi kursor ketikku. Aku tak ingin menulis tentang seseorang. Ya, that's the problem. Oh no, in fact it's my problem.
Aku tak lagi bisa bebas berekspresi. Karena aku tahu, dia mengintaiku. Aku tak mungkin menulis tentang
segala rasaku tentang seseorang yang kutahu ia selalu mencoba membaca
aku. Ya, aku tak suka "dibaca". Aku tak ingin rahasiaku dibaca dan dianalisa langsung olehnya. Aku terpaksa harus mengingat kode etik menulis. Ga mungkin aku menumpahkan segala rasaku disini, di jurnal ini. Tetiba rasaku mendadak tumpul. Aku gagu. Padahal seperti yang sudah kukatakan, inilah satu2nya media yang kupunya. Lalu, kalau tidak disini kemana aku harus bersuara?? Efek sampingnya hatiku menjadi lebam. Membiru. Disini, aku hanya ingin menulis. Aku ingin bebas bersuara. Aku ingin bebas mengekslorasi segala isi hati dan kepala. Bukankah menulis itu tak berbatas? Tapi, disini dia ada. Dia hadir. Dia membaca. Dia tahu. Dia peduli, meski tidak cinta.
No comments:
Post a Comment