Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sebuah pengakuan.
Kemarin saya mendapat kiriman buku dari seorang sahabat. Rasanya
senang luar biasa. (So, I thank to Ika who bought and sent this book as a gift
to me. I got it free. Hurraaaaay! :* ) Gimana nggak coba? Buku ini adalah buku
karangan penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Pasalnya berbulan-bulan saya
hunting buku ini di semua cabang Gramedia di Yogyakarta, tapi tak juga kunjung
menemukan. Buku ini kehabisan stock di semua cabangnya. Padahal saya terhitung
rajin banget ‘ngapel’ ke tempat ini. Alhasil pencarian saya pun berbuah
sia-sia. Makanya pas teman saya kirim pesan melalui whatsApp messenger dan
menawarkan buku ini, saya ga ragu untuk nitip dia. Eh, taunya dia baik banget
ngasih buku ini sebagai hadiah buatk saya. Thanks for this friendship, Ika. If you
were a guy, I ensure myself that I will fall in love with you easily. Lol
Karena buku ini sudah sekian lama saya cari jadi saya gak
menunggu waktu lebih lama untuk membuka dan membacanya. Langsung aja saya buka
buku itu dan menjelajahi halaman demi halamannya. Tadaaaa… baru buka halaman
pertamanya aja buku ini berhasil membuat saya entah. Tetiba ngerasa cemburu luar
biasa sama istri penulisnya. Sejauh yang saya baca, penulis mendedikasikan
tulisannya untuk istrinya. Ada nyawa dan cinta luar biasa untuk istrinya di
setiap tulisannya. Saya bisa menangkap getar itu. Huhu, saya mendadak iri setengah
mati baca buku itu. Saya kan juga mau dibikinin tulisan bagus kayak gitu. Tapi
siapa coba yang mau bikinin saya tulisan dan menjadikan saya sebagai subyek
dalam tulisannya? Nope! *Poor me*
Membaca buku ini benar2 membuat saya bercermin. For some
parts, I find myself in loving someone. Terkadang saya merasa saya berperan
sebagai Fahd Pahdepie, saya punya rasa yang kurang lebih sama dengan pengarang.
Saya suka menulis, meskipun tidak sebagus milik Fahd. Sesekali tulisan saya
berporos atas nama cinta. Tertuju untuk satu nama yang ianya ada di kedalaman hati
saya. In other parts, I feel like I was Rizqa Abidin, her beloved wife. Saya bisa
mencintai lelaki sebesar cinta Rizqa pada Fahd. Saya bersedia mendukung lelaki
terkasih saya dalam keadaan apapun demi keutuhan cinta dan jalan menuju
bahagia.
Buku ini mendorong
saya untuk jujur dalam mencintai seseorang. Betapa segala hal terasa jauh lebih
mudah ketika kita akrab dengan kejujuran. Tak perlu ada yang disembunyikan. Apalagi
dalam cinta. But Me?? Saya adalah orang yang paling sulit mengaku bahwa saya
jatuh hati pada seeorang. Saya lebih memilih memendam rasa ini entah di alam
mana. Sekalipun saya tahu, itu sakit. Saya memilih menanggungnya. Rasanya lebih
baik begitu. Tapi lewat buku ini saya
seakan diingatkan sesuatu, saya didorong untuk melakukan sesuatu. Entah kenapa
saya terus-terusan didorong untuk jujur. Saya dipaksa untuk mengatakan saya
cinta dia. Ingin sekali saya mengetik
pesan atas nama pengakuan dan mengirimkan pesan itu padanya. Akhirnya berperanglah
saya dengan diri saya sendiri. Saya hampir gila karena ini. Saya mengakui bahwa saya cinta, tapi toh tak
bisa juga saya jujur kepadanya. Saya menyerah. Saya kalah. Saya tak pernah ahli
dalam berbahasa cinta. Akhirnya saya tak menulis dan mengirimkan apa-apa
padanya. Begitulah, saya selalu kalah. Dan rasa ini tetap merdeka di alam maya.
Dorongan untuk sebuah pengakuan, imbauan untuk berekpsresi
jujur akhirnya cuma menjadi moral lesson buku itu yang gagal saya terapkan.
Sekian.
No comments:
Post a Comment