Saturday, August 15, 2015

Pengakuan Semu



Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sebuah pengakuan.


Kemarin saya mendapat kiriman buku dari seorang sahabat. Rasanya senang luar biasa. (So, I thank to Ika who bought and sent this book as a gift to me. I got it free. Hurraaaaay! :* ) Gimana nggak coba? Buku ini adalah buku karangan penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Pasalnya berbulan-bulan saya hunting buku ini di semua cabang Gramedia di Yogyakarta, tapi tak juga kunjung menemukan. Buku ini kehabisan stock di semua cabangnya. Padahal saya terhitung rajin banget ‘ngapel’ ke tempat ini. Alhasil pencarian saya pun berbuah sia-sia. Makanya pas teman saya kirim pesan melalui whatsApp messenger dan menawarkan buku ini, saya ga ragu untuk nitip dia. Eh, taunya dia baik banget ngasih buku ini sebagai hadiah buatk saya. Thanks for this friendship, Ika. If you were a guy, I ensure myself that I will fall in love with you easily. Lol


Karena buku ini sudah sekian lama saya cari jadi saya gak menunggu waktu lebih lama untuk membuka dan membacanya. Langsung aja saya buka buku itu dan menjelajahi halaman demi halamannya. Tadaaaa… baru buka halaman pertamanya aja buku ini berhasil membuat saya entah. Tetiba ngerasa cemburu luar biasa sama istri penulisnya. Sejauh yang saya baca, penulis mendedikasikan tulisannya untuk istrinya. Ada nyawa dan cinta luar biasa untuk istrinya di setiap tulisannya. Saya bisa menangkap getar itu. Huhu, saya mendadak iri setengah mati baca buku itu. Saya kan juga mau dibikinin tulisan bagus kayak gitu. Tapi siapa coba yang mau bikinin saya tulisan dan menjadikan saya sebagai subyek dalam tulisannya? Nope! *Poor me*


Membaca buku ini benar2 membuat saya bercermin. For some parts, I find myself in loving someone. Terkadang saya merasa saya berperan sebagai Fahd Pahdepie, saya punya rasa yang kurang lebih sama dengan pengarang. Saya suka menulis, meskipun tidak sebagus milik Fahd. Sesekali tulisan saya berporos atas nama cinta. Tertuju untuk satu nama yang ianya ada di kedalaman hati saya. In other parts, I feel like I was Rizqa Abidin, her beloved wife. Saya bisa mencintai lelaki sebesar cinta Rizqa pada Fahd. Saya bersedia mendukung lelaki terkasih saya dalam keadaan apapun demi keutuhan cinta dan jalan menuju bahagia.


Buku ini mendorong saya untuk jujur dalam mencintai seseorang. Betapa segala hal terasa jauh lebih mudah ketika kita akrab dengan kejujuran. Tak perlu ada yang disembunyikan. Apalagi dalam cinta. But Me?? Saya adalah orang yang paling sulit mengaku bahwa saya jatuh hati pada seeorang. Saya lebih memilih memendam rasa ini entah di alam mana. Sekalipun saya tahu, itu sakit. Saya memilih menanggungnya. Rasanya lebih baik begitu. Tapi lewat  buku ini saya seakan diingatkan sesuatu, saya didorong untuk melakukan sesuatu. Entah kenapa saya terus-terusan didorong untuk jujur. Saya dipaksa untuk mengatakan saya cinta dia. Ingin sekali saya  mengetik pesan atas nama pengakuan dan mengirimkan pesan itu padanya. Akhirnya berperanglah saya dengan diri saya sendiri. Saya hampir gila karena ini. Saya mengakui bahwa saya cinta, tapi toh tak bisa juga saya jujur kepadanya. Saya menyerah. Saya kalah. Saya tak pernah ahli dalam berbahasa cinta. Akhirnya saya tak menulis dan mengirimkan apa-apa padanya. Begitulah, saya selalu kalah. Dan rasa ini tetap merdeka di alam maya.


Dorongan untuk sebuah pengakuan, imbauan untuk berekpsresi jujur akhirnya cuma menjadi moral lesson buku itu yang gagal saya terapkan. 

Sekian.

No comments:

Post a Comment