Ini kali yah yang namanya segala sesuatu harus dibenerin
dulu niatnya? Aku yang akhir2 ini males kemana2, dengan ogah-ogahan akhirnya
keluar rumah karena harus mengambil buku yang udah terlanjur aku PO di salah
satu bookstore. Asyiknya bookstore ini ada di mall. Sedari awal aku udah niatin
cuma mau ambil buku dan langsung pulang. Tapi karena diluaran aduhai teriknya,
setelah mengambil buku yang udah aku PO aku kepingin ngadem dulu. Jadi
melangkah lah kakiku menuju mall tersebut. Window shopping ceritanya. Dan
beneran aku cuma keliling2 aja di mall tersebut. Bahkan tidak setiap arena aku
sisiri.
Mungkin ini yang namanya sial. Aku ga nyangka bakal ketemu
seseorang disana. Memang ini mall ga gede2 amat, tapi tetap aja bisa
meminimalisir orang yang kita kenal untuk tanpa sengaja ketemu disana. Paling
tidak rak-rak (entahlah aku harus menyebutnya apa) antara satu benda/barang
dengan barang yang lain dibuat dengan system blok-blok yang berbaris dan
berbeda-beda. Disusun sedemikian rupa sebagai sekat atau pemisah. Aku aja sering
terpisah dengan seorang teman yang kukenal karena memang kita pergi kesana
bersama. Sengaja memisahkan diri demi mencari kebutuhan dan kepuasan
masing-masing. Meskipun sekedar melihat dan berkeliling. Seringkali aku
mencari-cari, sengaja menyisiri setiap sudut demi bertemu kembali dengan wajah
yang kukenal sempurna. Berkeliling blok-blok berkali-kali tapi susah ketemu
orang yang dicari. Eh ini malah bisa-bisanya ketemu seseorang tanpa sengaja.
Jadi, sewaktu keliling2 di mall tersebut, lagi
asyik-asyiknya mangkal di rak sepatu, tanpa diduga ada yang memanggil ku. “Eci,
kan?” Tanyanya begitu. Spontan ekor mataku bergerak menuju ke seseorang
dihadapanku demi menangkap sipemilik suara. Aku yang minta ampun susahnya
mengenali wajah orang yang ga familiar dalam memoriku mencoba menscanning wajah
yang ada dihadapanku kala itu. Butuh sekian detik bagiku untuk mencoba
mengingat-ingat wajah itu. Cukup lama aku menyadari. “I know her, but I forgot
her name”, batinku. Sialnya spontan aku jawab “iya” sebagai jawaban reflex dari
pertanyaan awalnya. Sialnya lagi ada tanya jawab lanjutan darinya, mungkin
karena dia begitu mendeteksi wajah super bingung dan super tololku hingga dia
balas bertanya: “Siapa coba?” Hmm… let me think. Otakku masih berusaha
mengingat-ingat. “Oh ya, aku tahu. Istrinya A kan?” (I can’t call anyname in
here.) Akhirnya kalimat itu yang keluar dari mulutku.
Beberapa datik kemudian
setelah aku bilang itu, aku tersadar betapa terdengar tololnya kalimat itu.
Bahkan ditelingaku sendiri. Aku menyebutkan nama suaminya, dan bukan namanya
sendiri. Haha. Beruntung dia cukup puas aku mengenali identitasnya meski hanya
sebagai nyonya A, dan bukan sebagai identitas lahirnya. Aslinya terbukti itu
tak mampu nenutupi bahwa sesungguhnya aku tak terlalu mengenalinya. Entah
apakah dia menangkap getaran kegugupanku atau tidak.
Sialnya tanyanya ga berhenti sampai disitu. Masih ada tanya
yang harus kujawab dengan kegugupan yang berantai. Dia bertanya aku bersama
siapa. Apakah bersama seseorang yang mungkin dia kenal. Mungkin karena heran
mendapati aku sendirian. Iya memang aku sendirian. Semua tanyanya kujawab
seadanya. Tapi ada tanya yang sumpah mati sebenarnya ga pengen aku dengar dari
siapapun. Termasuk dia. Salut sama memorinya yang cukup kuat mengenali
seseorang lengkap dengan tali temali hubungan kemanusiaannya. Tapi andai saja
dia tahu, aku sangat ingin menghindari tanya jawab itu.
Sumpah mati aku ga nyangka dia bakal nanyain tentang orang
terdekatku dulu. Saat dia tanya “Eci sama siapa? Sendiri?” A ga ke Jogja?
Ceweknya A, kan?” Saat dia memberondongku dengan pertanyaan itu, ingin sekali
aku menghilang secepat kilat dari hadapannya demi menghindari tanyanya. Sialnya
aku ga pernah merapal dan menghapal mantra apapun. Apalagi menguasainya. Jadilah
mau ga mau aku jawab juga tanyanya. Berhubung sewaktu di sekolah dulu selalu dijejali
bahwa bohong itu dosa, jadilah aku jawab sejujurnya. “Iya, mbak. Sendiri.
Bukan. Bukan ceweknya A. Sebenarnya cuma beli buku (sambil liatin kantong plastik).
Kesini Cuma ngadem.Hehe (sambil pasang muka nyengir)” “Oh, udah ga? Udah lama?
Padahal udah siap-siap mau kondangan loh “tanyanya lagi. “Iya, udah lama ga”,
jawabku salah tingkah. Aku yang mendadak bingung diberondong pertanyaan begitu,
pengen buru-buru kabur demi menghindari pertanyaan lanjutan yang entah akan bermuara
kemana. Akhirnya aku minta pamit diri. Buru-buru ambil langkah seribu.
Kalimat terakhirnya itu yang mau ga mau mengingatkanku lagi
pada seseorang yang sudah membuatku patah hati. Ya Tuhan… demi apa aku mendapat
pertanyaan serumit itu hari ini? Oh bukan, pertanyaannya sih sederhana, tapi
usahaku untuk menjawab pertanyaannya itu lah yang rumit. Dalam hati aku
berjanji, besok-besok kalau mau ngapa-ngapain harus diinget-inget lagi niat
awalnya mau ngapain. Kalau mau beli buku, ya beli buku aja. Jangan mampir2.
Apalagi di mall. Tempat rekreasi terbaik orang-orang modern dan Marxism.Tempat
berkumpulnya manusia-manusia yang ingin merehatkan stress dengan berbelanja. Akhirnya
aku pulang dengan rasa sesal di dada.
No comments:
Post a Comment