Friday, October 17, 2014

Selamat Datang Gelombang (Rasaku)



Yogyakarta, 17 Oktober 2014

Hari yang dinanti-nanti akhrinya tiba. Hari ini Dee “melahirkan” anak ke-9 nya dalam bentuk buku. Serial Supernova 5, Gelombang, akhirnya hadir dalam bentuk fisik. Ia diterbitkan dan diedarkan kepada pembacanya secara resmi. Secara luas.  Dan saya adalah salah satu orang yang berbahagia menyambut dan menerima kelahirannya. Well, selamat datang Gelombang. Selamat hari lahir. Saya siap melahap dan menyerap kamu. Mari kita berbagi bersama.

Tadinya saya berharap buku ini akan saya selesaikan dalam waktu satu malam. Yang artinya malam ini saya siap melawan rasa kantuk dan bergadang semalaman dengan sebuah buku digenggaman. Tapi agaknya saya urung melakukannya setelah melihat halaman terakhir buku ini adalah 474 halaman. Sebuah buku yang sangat tebal untuk ukuran pembaca seperti saya. Rasanya saya gak sanggup seekstrem itu. Tapi saya berjanji sekurang-kurangnya saya tamatkan membaca buku ini dalam waktu 3 hari. Semoga bisa terealisasi. Amin.

Itu sih janji saya pada mulanya setelah putus asa karena tidak bisa menamatkan kisah ini dalam satu malam. Tapi belum apa-apa, saya sudah berhenti membaca pada halaman 4. Apa yang terjadi? Entah, saya tidak tahu.

Sepanjang sepenangkapan saya setelah membaca buku ini sampai halaman 4, Dee menarik lagi kisah Gio dan Diva Anastasia. Tadinya saya excited buku ini bisa membunuh waktu dan kesendirian saya. Tapi lagi-lagi entah, kisah Gio dan Diva memaksa saya menutup buku ini. Padahal saya masih ingin membaca lebih jauh. Saya seakan-akan mambayangkan gimana keadaaan dan perasaan Gio saat kehilangan Diva. Saya seperti mengerti walaupun tidak paham sempurna.
 
Saya membanyangkan Gimana hancurnya Gio saat kehilangan Diva, wanita yang dicintainya. Tiba-tiba saya seperti masuk dalam dunia mereka. Saya selaksa bercermin dan cerminan itu memantulkan kisah saya sendiri. Lalu tiba-tiba saya merasa sakit, tapi entah dimana. Sakit itu menyeri entah dibagian tubuh saya yang mana. Dan barulah saya sadar bahwa saya reflex menutup buku. Saya segera mengambil air wudhu karena adzan magrib sudah berkumandang. Ditengah-tengah wudhu, saya rasanya tak lagi sanggup membendung. Saya merasakan jatuh sejatuh-jatuhnya. Sayangnya kali ini tidak pada cinta. Saya jatuh pada titik terendah dan tepat menyentuh titik lemah saya. Tanpa saya sanggup tahan lagi, saya runtuh sudah. Untuk pertama kalinya saya menagis pada saat berwudhu. Airmata saya menyatu dengan air wudhu. Rasanya saya ga pernah sesedih ini. Selumrahnya orang menagis pada saat berdo’a setalah sholat, meminta pertolongan awal dan akhir kepada Sang Maha, saya pun sesekali begitu. Tapi kali ini saya ga ngerti kenapa bisa sesedih ini. Kepedihan itu luruh tanpa bisa ditunda beberapa menit pun. Akhirnya dalam sholat lah tumpuan saya melarikan diri.

Siapa yang tidak pernah merasa kehilangan seseorang? Rasanya tak ada. Semua orang rasanya pernah kehilangan seseorang yang lain dalam hidupnya. Dan efek kehilangan itu lebih kurang menyakitkan. Sulit diterima. Seperti Gio yang kehilangan Diva. Gio sulit menerima bahwa Diva hilang ditelan hutan Amazon. Sebuah hutan yang tidak layak huni bagi manusia. Apapun bisa terjadi di hutan liar, terlebih amazon. Namun jasad Diva tidak ditemukan dalam keadaan hidup ataupun mati. Tapi Gio masih menyimpan harap. Meskipun tim SAR sudah melakukan pencarian terhadap Diva berbulan-bulan sebelum pencarian hari ke-40 Gio. Dan hasilnya masih nihil. Masih misteri. Tim SAR sudah putus asa, namun tidak begitu dengan Gio.

Entah saya yang terlalu emosional atau apa, tapi saya baneran ga sanggup melanjutkan kisah Gio dan Diva pada saat itu. Emosi saya memang buruk beberapa minggu ini. Saya kok rasanya sering menangis. Teringat betapa pedihnya kehilangan seseorang yang dicintai. Padahal sejujurnya saya tak ingin lagi tampak bodoh karena bersedih sebab kehilangan kekasih. Saya kok capek nagis terus, tap sialnya saya ga sanggup membendung itu. Saya masih belum bisa menerima bahwa saya sudah kehilangan dia, kekasih yang paling saya cinta.
 
Sejujurnya bukan karena kehilangan kekasih yang membuat saya bersedih, tapi lebih dari itu. Saya rasanya kehilangan calon suami yang paling saya harap-harapkan, paling saya idam-idamkan. Bagi saya dia bukan seorang pacar, tapi kekasih. Dari hubungan kekasih saya sadar saya mendambanya sebagai calon suami. Bahkan jauh sebelum saya menjalin hubungan dengannya pun saya meyakini diri saya sendiri bahwa kelak dialah yang akan menjadi suami saya. Ya, benar. Saya lah yang terlebih dulu jatuh hati kepadanya. Sialnya tanpa ia tahu. Pohon cinta saya merimbun dipupuk waktu. Saya memang gila.

Tak ada kisah apa-apa antara saya dan dia selama bertahun-tahun. Masing-masing kami menjalani kisah hidup sendiri-sendiri. Kami bahkan tidak saling bersinggungan. Kami jarang sekali beririsan. Bahkan nyaris tidak pernah. Tapi sialnya itu tak mampu membunuh dan mencabut akar pengharapan saya kepadanya untuk bisa hidup bersama. Tidak. Saya tidak menyakiti diri saya sendiri, tapi saya berusaha menumbuhsuburkan keyakinan “the power of mind”. Mungkin memang buat sebagian orang itu amat sangat gila dan bodoh. Dan memang begitu. Tapi saya ga tahu bagaimana cara membunuh keyakinan itu. Akhirnya menahun saya hidup dalam keyakinan gila dengan segala ribuan rasa yang ada didalamnya. Menahun saya bernafas dalam pengharapan yang nyaris mustahil. Menahun saya sesak nafas tanpa ia deteksi. Menahun saya hidup dalam keyakinan yang kemudian baru sekarang saya sadari bahwa saya keliru. Saya pun belum pernah mengatakan hal ini kepadanya sebelumnya. Tapi sekarang lewat tulisan ini ia pun akan mengetahui. Sayangnya tanpa sanggup bereaksi. Saya dan dia tidak punya harapan apa-apa lagi untuk bisa hidup bersama. Kami sudah selesai. Oh tidak, kami terpaksa selesai. Kami harus selesai.

Yang rasanya menyakitkan, bukan karena saya yang memang punya pengharapan terlampau tinggi terhadapnya, tapi karena ia pun menjanjikan suatu hal yang juga sama tingginya kepada saya. Dan baru beberapa bulan ini kami menyadari, hubungan ini tak akan bergerak kemana-mana. Bahkan harus diakhiri sedini mungkin agar sakitnya juga bisa sedini mungkin pergi, terlampaui dan terlewati. Untuk kemudian kami bisa hidup normal kembali tanpa sakit yang senyata ini. Dan kemudian bergerak lebih tinggi kepada siapa pun pendamping hidup yang nantinya kami pilih. Sejauh ini, itulah jalan terakhir yang coba kami pilih dengan ribuan kali percobaan melapangkan dada.

Dulu, jauh sebelum saya dan dia terikat dalam hubungan sepasang kekasih, saya pernah membayangkan bagaimana rasanya jika lelaki yang saya kasihi menikahi wanita lain. Memilih berbahagia bersama orang lain, dan bukan saya. Dulu saya berfikir bahwa kehilangan setelah memiliki layak disyukuri. Kehilangan setelah memiliki akan menyadarkan kita bahwa ada batas yang tidak bisa ditembus antara kita dan pasangan. Dan itu akan membuat kita mengerti bahwa ketidakbersamaan kita memang beralasan. Selamanya kita tak akan penasaran. Kita akan lebih legowo menerima itu. Menurut saya akan sangat jauh lebih menyakitkan jika kehilangan tanpa pernah memiliki. Tanpa pernah bersama. Rasanya akan ada ribuan kata seandainya yang takkan pernah berhenti mengetuk-ngetuk kepala. Bisa jadi selamanya akan terjebak dalam rasa penasaran hebat. Tapi ternyata, kini saya sadar toh tidak semudah itu. Kehilangan setelah memiliki juga menyakitkan. Seperti yang terjadi pada saya sekarang. Seperti yang kini saya alami. Saling mencinta tapi toh tidak bisa bersama. How could I face this? How should I face this?

No comments:

Post a Comment