Adalah
engkau…
perempuan
berwajah bianglala
lahir dari
repak gerimis yang menghujam tanah
retak kemarau
dalam dadaku
Ada sekawanan awan, sayang…
bergumpal
beriringan di sebalik kerudungmu
di kacamata
mungil yang bergelanyut di wajah bianglalamu
aku
menuliskan sebuah sajak sederhana
sajak yang
tampak karena embun yang lahir dari lembab hujan
Adalah
engkau…
perempuan bermata
lembayung
garis waktu
yang terukir di lentik mata
dan gelora
alis yang menelikung
Aduhai, Gusti…
deburan ombak
dalam hati
menampar-nampar
hasrat yang karang
perempuan di
hadapanku
Adalah
engkau…
perempuan
berwajah pantai
dan aku
pelancong yang bersantai
di bibirmu
yang ayu
persis teduh
pohon-pohon kelapa, daun bakau…
dan aku
terkapar
persis
lokan-lokan yang kehilangan laut
Tapi, Oh
Gusti…
pepasir
pantai perlahan menenggelamkan pandanganku
seperti
tatapanmu…
menggiring
hujan,
menghapus
mimpi yang kulukis di pasir putih
seputih
senyummu,
senyum
perempuan di hadapanku.
-Puisi dari sahabat-
Yogyakarta
October 29th, 2010
***
Sastrawan Menakjubkan
Aku teringat behind the scene dari penulisan
puisi ini. Kala itu kira-kira pukul 11 siang, aku baru saja menyelesaikan
kelas presentasi kelompok, dan masih akan ada kelas lain berikutnya yang
menunggu jadwal kuliahku. Waktu itu cuaca Yogyakarta begitu terasa menyengat
kulit jika berada di luaran, dan atas dasar itulah, aku memilih ngadem ke perpustakaan
kampus. Menikmati udara sejuk yang dihembuskan dari pendingin udara dalam
ruangan yang sarat akan kumpulan buku-buku, gudangnya ilmu pengetahuan. Tak ada
kebutuhan khusus yang memaksaku untuk berada dalam ruang perpustakaan kala itu,
hanya sekedar ingin membunuh waktu hingga menuju jam kelas berikutnya. Terlalu
malas rasanya untuk pulang ke kos, jadi kuputuskan menghabiskan waktu di ruang
baca, dan aku memilih buku susastra sebagai bahan bacaanku.
Setelah aku memilih buku untuk
dijadikan bahan bacaan selama berada di perpustakaan, aku memilih tempat duduk
di pojok ruangan. Maksudnya sih ingin menyendiri dan menyepi. Dan hup…
mendaratlah aku dengan empuk di kursiku. Eh tak di sangka, aku bertemu dengan
temanku disana. Kalau boleh dikatakan, hubunganku dengan dia tidaklah terlalu
dekat. Perkenalanku dengannya hanya sebatas perkenalan nama. Aku bahkan lupa
bagaimana moment kami berkenalan.
Maklum saja, aku memang agak pelupa (Hehe. ^_^v). Di dalam ruang pojok
perpustakaan itu, dia duduk persis di
seberang tempat dudukku. (Lebih tepatnya aku lah yang memilih duduk persis di
sebrang tempat dia duduk. Sebab, bukankah dia yang lebih dulu berada di
perpustakaan itu?) Kami hanya dibatasi oleh sebuah meja baca panjang. Setelah say hello, kami disibukkan dengan
kegiatan kami masing-masing. Aku sibuk membaca sastraku, dan dia entahlah… aku
tak paham dia disibukkan oleh kegiatan apa. Yang kulihat ada sebuah buku tebal
dihadapannya, dan dia sibuk menulis-nulis sesuatu. Dia menulis apa, aku tak
tahu.
Dan ternyata itulah yang
mengagetkanku. Sekitar 15-20 menit berlalu, dia menghampiriku. Kupikir dia
hendak pamit denganku, meminta ijin hendak keluar perpustakaan
mendahuluiku karena kebutuhannya di
perpustakaan sudah terpenuhi, tapi tak di sangka dia menghampiriku dengan
memberi secarik kertas berisi sajak di atas, dengan sekalian ijin berpamitan tentu
saja.
“Aku menulis sajak ini dengan
tiba-tiba, melihatmu duduk di sebrangku membuat penaku menari-nari di atas
kertas, tanpa kuminta. Dan aku menulis ini tanpa maksud apa-apa. Ini hanya
ekspresi rasa. Terimalah. Dari seorang sahabat untuk sahabat.” katanya seraya
tersenyum. Dia memberi setengah memaksa, menyodorkan karyanya untuk aku terima.
Dan tentu saja aku bingung bukan kepalang dibuatnya. Tak di sangka,
kesibukannya menulis yang tak kusadari itu adalah menulis sajak tentangku,
untukku.
Dan wow… setelah sajak itu
kubaca, aku terkesima seketika. Sajak itu begitu manis dan tepat sekali
menggambarkan keadaanku kala itu. Seingatku, waktu itu aku memang sedang di
rundung kesedihan, barangkali kesedihan itu begitu kentara hingga dia tergerak
menulis sajak untukku, ataukah dia yang terlalu peka dengan keadaanku,
menyadari ada mendung yang menggelantung di mataku, ada tatap mata letih nan
sayu yang terpancar dari aura wajahku. Dan dengan kepekaan rasa yang dia punya,
barangkali ada ilham yang menginspirasi mata penanya, hingga akhirnya
terciptalah sajak manis itu. Dengan pilihan diksi yang memukau, dia membuatku
kagum. Juga membuatku sejenak membeku, dan tersentuh. Saat itu juga aku
bergumam, aku telah berkenalan dengan seorang sastrawan. Murni sastrawan. Menakjubkan!
Dan kini, rasanya ingin sekali aku dibuatkannya seribu sajak lagi.
No comments:
Post a Comment