Tuesday, April 09, 2013

Aku Menyaksikan Hujan Menari dalam Matamu

Adalah engkau…
perempuan berwajah bianglala
lahir dari repak gerimis yang menghujam tanah
retak kemarau dalam dadaku

Ada sekawanan awan, sayang…
bergumpal beriringan di sebalik kerudungmu
di kacamata mungil yang bergelanyut di wajah bianglalamu
aku menuliskan sebuah sajak sederhana
sajak yang tampak karena embun yang lahir dari lembab hujan

Adalah engkau…
perempuan bermata lembayung
garis waktu yang terukir di lentik mata
dan gelora alis yang menelikung

Aduhai,  Gusti…
deburan ombak dalam hati
menampar-nampar hasrat yang karang
perempuan di hadapanku

Adalah engkau…
perempuan berwajah pantai
dan aku pelancong yang bersantai
di bibirmu yang ayu
persis teduh pohon-pohon kelapa, daun bakau…
dan aku terkapar
persis lokan-lokan yang kehilangan laut

Tapi, Oh Gusti…
pepasir pantai perlahan menenggelamkan pandanganku
seperti tatapanmu…
menggiring hujan,
menghapus mimpi yang kulukis di pasir putih
seputih senyummu,
senyum perempuan di hadapanku.


-Puisi dari sahabat-
Yogyakarta
October 29th, 2010
***
Sastrawan Menakjubkan
 
Aku teringat behind the scene dari penulisan puisi ini. Kala itu kira-kira pukul 11 siang, aku baru saja menyelesaikan kelas presentasi kelompok, dan masih akan ada kelas lain berikutnya yang menunggu jadwal kuliahku. Waktu itu cuaca Yogyakarta begitu terasa menyengat kulit jika berada di luaran, dan atas dasar itulah, aku memilih ngadem ke perpustakaan kampus. Menikmati udara sejuk yang dihembuskan dari pendingin udara dalam ruangan yang sarat akan kumpulan buku-buku, gudangnya ilmu pengetahuan. Tak ada kebutuhan khusus yang memaksaku untuk berada dalam ruang perpustakaan kala itu, hanya sekedar ingin membunuh waktu hingga menuju jam kelas berikutnya. Terlalu malas rasanya untuk pulang ke kos, jadi kuputuskan menghabiskan waktu di ruang baca, dan aku memilih buku susastra sebagai bahan bacaanku.

Setelah aku memilih buku untuk dijadikan bahan bacaan selama berada di perpustakaan, aku memilih tempat duduk di pojok ruangan. Maksudnya sih ingin menyendiri dan menyepi. Dan hup… mendaratlah aku dengan empuk di kursiku. Eh tak di sangka, aku bertemu dengan temanku disana. Kalau boleh dikatakan, hubunganku dengan dia tidaklah terlalu dekat. Perkenalanku dengannya hanya sebatas perkenalan nama. Aku bahkan lupa bagaimana moment kami berkenalan. Maklum saja, aku memang agak pelupa (Hehe. ^_^v). Di dalam ruang pojok perpustakaan itu, dia  duduk persis di seberang tempat dudukku. (Lebih tepatnya aku lah yang memilih duduk persis di sebrang tempat dia duduk. Sebab, bukankah dia yang lebih dulu berada di perpustakaan itu?) Kami hanya dibatasi oleh sebuah  meja baca panjang. Setelah say hello, kami disibukkan dengan kegiatan kami masing-masing. Aku sibuk membaca sastraku, dan dia entahlah… aku tak paham dia disibukkan oleh kegiatan apa. Yang kulihat ada sebuah buku tebal dihadapannya, dan dia sibuk menulis-nulis sesuatu. Dia menulis apa, aku tak tahu.

Dan ternyata itulah yang mengagetkanku. Sekitar 15-20 menit berlalu, dia menghampiriku. Kupikir dia hendak pamit denganku, meminta ijin hendak keluar perpustakaan mendahuluiku  karena kebutuhannya di perpustakaan sudah terpenuhi, tapi tak di sangka dia menghampiriku dengan memberi secarik kertas berisi sajak di atas, dengan sekalian ijin berpamitan tentu saja. 

“Aku menulis sajak ini dengan tiba-tiba, melihatmu duduk di sebrangku membuat penaku menari-nari di atas kertas, tanpa kuminta. Dan aku menulis ini tanpa maksud apa-apa. Ini hanya ekspresi rasa. Terimalah. Dari seorang sahabat untuk sahabat.” katanya seraya tersenyum. Dia memberi setengah memaksa, menyodorkan karyanya untuk aku terima. Dan tentu saja aku bingung bukan kepalang dibuatnya. Tak di sangka, kesibukannya menulis yang tak kusadari itu adalah menulis sajak tentangku, untukku. 

Dan wow… setelah sajak itu kubaca, aku terkesima seketika. Sajak itu begitu manis dan tepat sekali menggambarkan keadaanku kala itu. Seingatku, waktu itu aku memang sedang di rundung kesedihan, barangkali kesedihan itu begitu kentara hingga dia tergerak menulis sajak untukku, ataukah dia yang terlalu peka dengan keadaanku, menyadari ada mendung yang menggelantung di mataku, ada tatap mata letih nan sayu yang terpancar dari aura wajahku. Dan dengan kepekaan rasa yang dia punya, barangkali ada ilham yang menginspirasi mata penanya, hingga akhirnya terciptalah sajak manis itu. Dengan pilihan diksi yang memukau, dia membuatku kagum. Juga membuatku sejenak membeku, dan tersentuh. Saat itu juga aku bergumam, aku telah berkenalan dengan seorang sastrawan. Murni sastrawan. Menakjubkan! Dan kini, rasanya ingin sekali aku dibuatkannya seribu sajak lagi.

No comments:

Post a Comment