Ini tulisan lama sebenarnya,
tapi belum pernah di posting dimanapun. Selama ini ia tersimpan rapi dalam
tumpukan folder di laptopku. Rahasia hati yang tak pernah terungkap. Tapi entah
kenapa, setelah kemarin puas curhat habis-habisan dengan seorang sahabat,
rasanya ada beban moril kenapa tulisan ini harus disembunyikan. Paling tidak tulisan ini kutujukan untuk dia. Tulisan ini pun
terinspirasi setelah aku membaca catatan tulisannya. Seperti ada semacam suara
yang menggaung di telingaku pada saat itu, hingga gaung itu lama-kelamaan
menggema keras meciptakan suara, semacam suara peluit yang ditiupkan dengan
brutal, sangat menggangu. Aku seakan “dibangunkan” oleh sebuah alarm panjang.
Dan inilah catatan itu.
*****
November. Inilah barangkali waktu yang tepat untuk
mengakhiri segala hal yang tak pernah bermula. Bulan ini, November, barangkali
menjadi bulan yang sacral bagiku. Sebuah bulan dalam cetakan kalender yang
beberapa tahun lalu pernah menjadi bulan penuh cinta bagiku. Ia suguhkan aku
madu, juga racun sekaligus. Pada November, aku jatuh hati, sekaligus juga patah
hati. Aku pun tidak tahu benar aku berpijak pada November yang mana, November
penuh cinta ataukah November penuh luka? Ah, aku lupa… cinta memang sepaket
dengan luka. Kenapa kala itu tak terpikirkan olehku? *What a gergous stupidity!* November berlalu. Jarum detik, menit, dan jam setia berputar dalam sehari semalam membawanya menempuh pada November lagi. Ah, secepat itu kah? Aku tak percaya, segala bentuk kesakitan dan luka itu telah lama menjeratku, tapi tak juga aku keluar darisana dengan selamat. Jalan yang kulalui amat sangat panjang demi berhenti pada lain November, tapi aku masih bertahan dengan segala ketidakberdayaan. Bisakah aku dikatakan tegar melewati semua itu? Entahlah. Aku tak tahu pasti.
Namun kini, seiring dengan waktu yang terus berpacu dan berlalu, seiring dengan kepastian angin yang tak berhenti berhembus, aku mengerti satu hal. Kini aku paham TAK ADA GUNANYA SENI PEMAKSAAN! Segala hal berjalan pada track tertentu, pada jejak langkahnya sendiri-sendiri. Dan aku lupa, ada yang mengatur keajaiban itu. Dia lah Tuhan Yang MahaKuasa.
November ini, akhirnya aku menyadari. Aku menyerah dan mengaku kalah. Aku lelah, sebab dia tak pernah ada disana. Segala bentuk penantian dan harapku akhirnya lapuk oleh waktu, membawaku kembali pada kewarasan. Kini aku mampu mendengar peluit yang ditiup keras di telingaku, aku harus berhenti sekarang atau… tidak sama sekali!!!
“Dan betapa pun punggung ini ingin berbalik, aku tahu lebih baik untuk terus berjalan. Terus berjalan.”
*Mencari Herman on Filosofi Kopi - Dee*
November 20th, 2012
01:18 am
*****
Tapi ya… itu hanya sekedar catatan. Komitmen cuma komitmen, tapi
hati punya sistem gravitasi yang cara kerjanya tak kita mengerti. Dan aku
kembali jatuh hati pada pria yang sama sejak bertahun-tahun lalu. Tak berubah
pria, hanya rasa cinta yang up and down luar biasa. Jangan tanya bagaimana
rasanya, capek luar biasa.Ampun deh rasanya.
Dunia seakan sudah jungkir balik saja. Tapi hidup terus berjalan. Hidup
harus tetap dilanjutkan, seberat apa pun beban hidup yang kita tanggung. Dan
aku pun mencoba berdamai dan menerima jalan hidupku. Hingga akhirnya sampailah
aku pada titik ini. Sesuatu yang kusebut sebagai KEAJAIBAN TUHAN. Aku berhasil meniti jalan yang licin dan
menelikung itu dengan selamat, karena DIA. Terimakasih tak terhingga ya Robb…
Semoga tak putus-putus menulis dengan terbitnya blognya ya !! Untuk tulisan ini selalu kejar CINTA untukmu...
ReplyDeleteBaru liat ada komen. Hahaha
ReplyDeletebtw, Hey, aku ga butuh mengejar cinta, itu bukan porsiku.
Yang kulakukan hanyalah berbentuk menunggu.
Menunggu di kasih cincin, menunggu dilamar, menunggu dinikahi. :p