Tubuh kurus tak berbentuk dengan berbungkus kulit berwarna coklat yang menggelap itu tersenyum, bahkan kerap kali tertawa renyah. Menertawakan hal yang seharusnya menjadi kegetirannya. Seorang bocah yang menakar segala hal dari skala otak kanak-kanaknya. Ringan. Amat sangat ringan. Tak tampak wajah berduka dari parasnya, tak terdeteksi cerminan sakit hati dari air mukanya. Padahal teman sepermainannya menertawakannya. Sepuas-puasnya, dengan nada tawa yang beraneka. Tapi ia memilih tersenyum dan bahkan ikut tertawa melebar. Tak mau memikirkan hal-hal yang menjadi urusan bagi dunia orang dewasa, sebab otak kanak-kanaknya belum cukup mampu untuk menjangkaunya. Jadi, ia memilih bermain, sepuas-puasnya. Dan bagiku itu adalah pilihan yang tepat, sebab memang ia tak punya lain pilihan. Hanya itu. Satu-satunya. Sebaik-baiknya.
Deg! Tiba-tiba detak jantungku terhenti seketika. Mataku menatap dalam ke arah matanya. Entah apa yang ingin kucari dan kutemukan disana, sebab aku tak melihat ada tanda-tanda. Sialnya lagi, ia tersenyum lebar membalas tatapanku. Seolah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Ia baik-baik saja. Dan hatiku pun bergeming, menyadari sesuatu. Malam itu, ia mengajariku sesuatu.
Ia adalah seorang bocah, barangkali berusia berkisar sepuluh
atau sebelas tahun. Bocah perempuan malang dengan tubuh kurus tak berbentuk
berbungkus kulit berwarna coklat gelap. Kemalangannya tidak terletak pada wujud
fisiknya, melainkan pada nasib yang mempermainkannya. Ia adalah bocah yang
sejak lama ditinggal pergi ibunya. Sejak beberapa tahun lalu. Bahkan semenjak
ia kecil, katanya. Entah usia berapa, ia lupa. Ia juga mengaku tak mengingat
rupa ibu yang melahirkannya. Tak ada memori apa-apa yang melekat pada otaknya
kala itu, sebab kejadian itu sudah bertahun-tahun tergulung usang. Sudah
terlalu lama baginya, hingga ia lupa dan tidak menaruh harapan apa-apa. Hanya
kehidupan mendatang yang lebih baik. Hanya itu. Sesederhana itu. Ah, ia juga
keliru menyebut nama ibunya. Ibuku dan ia berperang argumen membenarkan nama
ibu kandungnya. Tapi akhirnya ia menyerah kalah. Barangkali karena ia masih
kanak-kanak yang memang tidak banyak mengetahui sejarah kehidupannya sendiri. Ia
mendengar kisah hidupnya dari orang-orang disekelilingnya.
Semenjak ibunya
pergi, dari cerita yang dituturkan teman mainnya itu aku mengetahui bahwa ia
memiliki empat ibu. Ia mengenalnya sebagai ibu pengganti. Temannya itu
mengatakan demikian dengan tawa yang melebar, pun dilengkapi dengan analogi
yang terdengar getir. “Uwak ini –menyebut ibuku- punya satu ibu, mbak ini
–menunjuk ke arahku- punya satu ibu, dan aku juga sama, mempunyai hanya satu
ibu saja, lalu kau –menunjuk bocah malang itu- kenapa kau punya empat? Hahaha. Dimana-mana
orang-orang hanya punya satu ibu, ibumu kenapa banyak sekali? Hahahaha… Temannya
berucap demikian dengan keras dan dihiasi tawa yang susul menyusul, pun deras. Jelas
sekali itu tawa yang terdengar mengejek.
Teman sepermainannya menertawakan garis kemalangan hidupnya
dengan tawa lebar dan suara renyah. Tetapi ia tidak tampak bersedih melihat
perlakuan teman mainnya itu. Bahkan ia pun ikut menertawakan itu. Jadilah
mereka berdua tertawa bersama. Sepuas-puasnya. Aku dan ibu saling menatap,
menjadi salah tingkah. Ibu memilih diam, sedang aku menelan ludah. Temannya itu
terlalu banyak berbicara dan tidak menyadari akibat yang bisa ditimbulkan dari
ucapannya. Tapi ya, mereka masih kanak-kanak. Mereka belum banyak mengerti.
Segala sikap mereka masih termaafkan, dan mereka masih bisa saling
mengampuni. Lalu aku bertanya getir
dalam hati, kegetiran macam apa ini? Adakah di dunia ini yang disebut sebagai ibu
pengganti? Ah, kepalaku mendadak pusing. Sakit sekali.
Aku memandang heran pada dua bocah didepanku yang sedang
puas tertawa. Bagaimana bisa mereka melakukan itu? Pertanyaan yang membuatku
merenung dan bingung. Tapi disanalah aku mendapat pijakan untuk belajar. Mereka
kanak-kanak. Dunia mereka adalah dunia kanak-kanak. Tidak perlu memikirkan hal
lain selain bermain, bermain, bermain ,dan belajar. Seperti taman kanak-kanak.
Ya, tempat mereka adalah taman kanak-kanak. Lebih banyak bermainnya ketimbang
belajarnya. Bermain agar riang, baru kemudian belajar. Bukankah anak-anak hanya
mau belajar jika hatinya telah riang? Sebab itulah mereka dipersilahkan bermain
lebih dahulu, baru kemudian dibujuk untuk belajar.
Lalu aku menilik pada dunia kanak-kanak. Dunia mereka
istimewa. Mereka nakal, meski tidak semua anak-anak adalah nakal, tapi paling
tidak kebanyakan dari mereka adalah anak-anak nakal. Tetapi segala kesalahan
dan kenakalan yang mereka perbuat termaafkan. Dan mereka juga makhluk agung,
sebab mereka makhluk pengampun. Mereka cepat melupakan kesalahan orang lain
yang melukai mereka, tak jarang dalam bentuk fisik pula. Seringkali kita jumpai
dua anak saling memukul karena berebut mainan, anak yang kalah lalu menangis,
tetapi beberapa menit kemudian mereka sudah berbaikan. Kembali bermain bersama,
menyenangkan hati masing-masing. Barangkali kita, makhluk dewasa, perlu belajar
dari dunia kanak-kanak mereka. Menjadi makhluk pemaaf dan pengampun, seberapa
besar pun kesalahan orang lain yang diperbuat kepada kita. Kita memang tidak
lagi dalam fase bermain, tapi kita selangkah di depan fase mereka, kita
meloncat ke fase belajar. Sebuah pelajaran yang berharga dari dunia mereka.
Seperti bocah itu yang memaafkan kesalahan besar ibunya yang
sedari ia kecil meninggalkannya, juga mengampuni ayahnya yang tidak menyertakan
dirinya meneguk nikmatnya memiliki keluarga baru. Keluarga utuh yang ada peran
ayah dan ibu, meski bukan seorang ibu kandung. Tapi ia mengerti, setidaknya
mencoba mengerti, dan ia mengampuni. Sebab ia kanak-kanak.
Kini ayahnya telah
menikah lagi, memiliki keluarga baru dan menetap di lain tempat. Sedang gadis
bocah itu menetap dan tinggal bersama neneknya dari pihak ayah. Tetapi ia bocah
yang riang. Ia bocah yang pandai menertawakan kegetiran hidupnya. Bocah yang
tidak memiliki dunia lain selain dunia kanak-kanaknya. Ia hanya punya itu. Dan
memang ia belum boleh memiliki dunia selain itu. Ia harus menikmati taman
kanak-kanaknya. Sepuas-puasnya. Dan ia mengajarkan sesuatu kepadaku, seperti
ia, barangkali aku juga harus belajar menertawakan kegetiranku. Getir yang
takkan terasa menyakitkan sebab disanding dengan derai tawa yang lebar. Tawa
yang bersanding dengan kegetiran, bukan getir yang disanding dalam
persembunyian tawa. Dan lewat derai tawa gadis bocah itu aku mengerti, bahwa
hidup harus seimbang. Juga penuh syukur.
Rumah
Thursday, November 8th, 2012
2:40 pm
No comments:
Post a Comment