Wednesday, April 10, 2013

Taman Kanak-Kanak


Tubuh kurus tak berbentuk dengan berbungkus kulit berwarna coklat yang menggelap itu tersenyum, bahkan kerap kali tertawa renyah. Menertawakan hal yang seharusnya menjadi kegetirannya. Seorang bocah yang menakar segala hal dari skala otak kanak-kanaknya. Ringan. Amat sangat ringan. Tak tampak wajah berduka dari parasnya, tak terdeteksi cerminan sakit hati dari air mukanya. Padahal teman sepermainannya menertawakannya. Sepuas-puasnya, dengan nada tawa yang beraneka. Tapi ia memilih tersenyum dan bahkan ikut tertawa melebar. Tak mau memikirkan hal-hal yang menjadi urusan bagi dunia orang dewasa, sebab otak kanak-kanaknya belum cukup mampu untuk menjangkaunya. Jadi, ia memilih bermain, sepuas-puasnya. Dan bagiku itu adalah pilihan yang tepat, sebab memang ia tak punya lain pilihan. Hanya itu. Satu-satunya. Sebaik-baiknya.

Deg! Tiba-tiba detak jantungku terhenti seketika. Mataku menatap dalam ke arah matanya. Entah apa yang ingin kucari dan kutemukan disana, sebab aku tak melihat ada tanda-tanda. Sialnya lagi, ia tersenyum lebar membalas tatapanku. Seolah mengatakan bahwa ia tidak apa-apa. Ia baik-baik saja. Dan hatiku pun bergeming, menyadari sesuatu. Malam itu, ia mengajariku sesuatu. 


Ia adalah seorang bocah, barangkali berusia berkisar sepuluh atau sebelas tahun. Bocah perempuan malang dengan tubuh kurus tak berbentuk berbungkus kulit berwarna coklat gelap. Kemalangannya tidak terletak pada wujud fisiknya, melainkan pada nasib yang mempermainkannya. Ia adalah bocah yang sejak lama ditinggal pergi ibunya. Sejak beberapa tahun lalu. Bahkan semenjak ia kecil, katanya. Entah usia berapa, ia lupa. Ia juga mengaku tak mengingat rupa ibu yang melahirkannya. Tak ada memori apa-apa yang melekat pada otaknya kala itu, sebab kejadian itu sudah bertahun-tahun tergulung usang. Sudah terlalu lama baginya, hingga ia lupa dan tidak menaruh harapan apa-apa. Hanya kehidupan mendatang yang lebih baik. Hanya itu. Sesederhana itu. Ah, ia juga keliru menyebut nama ibunya. Ibuku dan ia berperang argumen membenarkan nama ibu kandungnya. Tapi akhirnya ia menyerah kalah. Barangkali karena ia masih kanak-kanak yang memang tidak banyak mengetahui sejarah kehidupannya sendiri. Ia mendengar kisah hidupnya dari orang-orang disekelilingnya.

 Semenjak ibunya pergi, dari cerita yang dituturkan teman mainnya itu aku mengetahui bahwa ia memiliki empat ibu. Ia mengenalnya sebagai ibu pengganti. Temannya itu mengatakan demikian dengan tawa yang melebar, pun dilengkapi dengan analogi yang terdengar getir. “Uwak ini –menyebut ibuku- punya satu ibu, mbak ini –menunjuk ke arahku- punya satu ibu, dan aku juga sama, mempunyai hanya satu ibu saja, lalu kau –menunjuk bocah malang itu- kenapa kau punya empat? Hahaha. Dimana-mana orang-orang hanya punya satu ibu, ibumu kenapa banyak sekali? Hahahaha… Temannya berucap demikian dengan keras dan dihiasi tawa yang susul menyusul, pun deras. Jelas sekali itu tawa yang terdengar mengejek. 

Teman sepermainannya menertawakan garis kemalangan hidupnya dengan tawa lebar dan suara renyah. Tetapi ia tidak tampak bersedih melihat perlakuan teman mainnya itu. Bahkan ia pun ikut menertawakan itu. Jadilah mereka berdua tertawa bersama. Sepuas-puasnya. Aku dan ibu saling menatap, menjadi salah tingkah. Ibu memilih diam, sedang aku menelan ludah. Temannya itu terlalu banyak berbicara dan tidak menyadari akibat yang bisa ditimbulkan dari ucapannya. Tapi ya, mereka masih kanak-kanak. Mereka belum banyak mengerti. Segala sikap mereka masih termaafkan, dan mereka masih bisa saling mengampuni.  Lalu aku bertanya getir dalam hati, kegetiran macam apa ini? Adakah di dunia ini yang disebut sebagai ibu pengganti? Ah, kepalaku mendadak pusing. Sakit sekali. 

Aku memandang heran pada dua bocah didepanku yang sedang puas tertawa. Bagaimana bisa mereka melakukan itu? Pertanyaan yang membuatku merenung dan bingung. Tapi disanalah aku mendapat pijakan untuk belajar. Mereka kanak-kanak. Dunia mereka adalah dunia kanak-kanak. Tidak perlu memikirkan hal lain selain bermain, bermain, bermain ,dan belajar. Seperti taman kanak-kanak. Ya, tempat mereka adalah taman kanak-kanak. Lebih banyak bermainnya ketimbang belajarnya. Bermain agar riang, baru kemudian belajar. Bukankah anak-anak hanya mau belajar jika hatinya telah riang? Sebab itulah mereka dipersilahkan bermain lebih dahulu, baru kemudian dibujuk untuk belajar. 
 
Lalu aku menilik pada dunia kanak-kanak. Dunia mereka istimewa. Mereka nakal, meski tidak semua anak-anak adalah nakal, tapi paling tidak kebanyakan dari mereka adalah anak-anak nakal. Tetapi segala kesalahan dan kenakalan yang mereka perbuat termaafkan. Dan mereka juga makhluk agung, sebab mereka makhluk pengampun. Mereka cepat melupakan kesalahan orang lain yang melukai mereka, tak jarang dalam bentuk fisik pula. Seringkali kita jumpai dua anak saling memukul karena berebut mainan, anak yang kalah lalu menangis, tetapi beberapa menit kemudian mereka sudah berbaikan. Kembali bermain bersama, menyenangkan hati masing-masing. Barangkali kita, makhluk dewasa, perlu belajar dari dunia kanak-kanak mereka. Menjadi makhluk pemaaf dan pengampun, seberapa besar pun kesalahan orang lain yang diperbuat kepada kita. Kita memang tidak lagi dalam fase bermain, tapi kita selangkah di depan fase mereka, kita meloncat ke fase belajar. Sebuah pelajaran yang berharga dari dunia mereka.

Seperti bocah itu yang memaafkan kesalahan besar ibunya yang sedari ia kecil meninggalkannya, juga mengampuni ayahnya yang tidak menyertakan dirinya meneguk nikmatnya memiliki keluarga baru. Keluarga utuh yang ada peran ayah dan ibu, meski bukan seorang ibu kandung. Tapi ia mengerti, setidaknya mencoba mengerti, dan ia mengampuni. Sebab ia kanak-kanak.

Kini ayahnya telah menikah lagi, memiliki keluarga baru dan menetap di lain tempat. Sedang gadis bocah itu menetap dan tinggal bersama neneknya dari pihak ayah. Tetapi ia bocah yang riang. Ia bocah yang pandai menertawakan kegetiran hidupnya. Bocah yang tidak memiliki dunia lain selain dunia kanak-kanaknya. Ia hanya punya itu. Dan memang ia belum boleh memiliki dunia selain itu. Ia harus menikmati taman kanak-kanaknya. Sepuas-puasnya. Dan ia mengajarkan sesuatu kepadaku, seperti ia, barangkali aku juga harus belajar menertawakan kegetiranku. Getir yang takkan terasa menyakitkan sebab disanding dengan derai tawa yang lebar. Tawa yang bersanding dengan kegetiran, bukan getir yang disanding dalam persembunyian tawa. Dan lewat derai tawa gadis bocah itu aku mengerti, bahwa hidup harus seimbang. Juga penuh syukur.

Rumah
Thursday, November 8th, 2012
2:40 pm

No comments:

Post a Comment