Tuesday, October 08, 2013

Hey, I’m Back


Finally, I republish my blog. Taraaaaaaaaaaaaaa. Hey, I’m back my dearest readers. Apa kabar semuanya? Apakah kalian merindukanku? Ehm baiklah, saya ralat pemirsa. Apakah kalian merindukan tulisan dan cerita (sampah) ku? Honestly, I hope so.

Aku kembali lagi setelah 2 bulan lebih mengatur akun blogku sebagai milik pribadi, konsumsi pribadi. Yang sama artinya sejak 2 bulan lalu aku menghilang dari hingar bingar pembaca. Walau harus kuakui, aku haus komentar dan pujian dari para pembaca blogku. Bagaimanapun, apalah arti penulis kalau tidak ada pembaca. Tiada artinya tulisan kalau tidak ada yang membacanya. Meski demikian, itu sama artinya bukan tidak mungkin system aktif dan non-aktif akun ini akan terjadi dan berulang lagi kelak dikemudian hari. Maklumlah, saya kan penulis amatiran. Dan labil lagi. Hehe.

So, here I am. Aku ada karena kalian ada. Aku tak perlu berceloteh berlama-lama lagi. Selamat datang kembali untuk kalian wahai para pembaca. Aku selalu menanti kunjungan dan komentar kalian disini. Selamat menikmati cerita dan tulisan sampahku. ^_^

Salam Hangat,

- Ucrit -

Friday, September 27, 2013

Friday I’m in Love


Sejak kau katakan kau cinta padaku, aku tidak tahu bagaimana prosesnya bekerja, yang kutahu aku mulai jatuh hati pada satu hari, Jum’at. Episode babak baru hidupku serasa dimulai pada hari itu. Jum’at ceria. Jum’at baik. Jum’at membahagiakan.


Sejak saat itu aku merasa ada atmosfir berbeda pada tiap hari Jum’atku. Hari Jum’at yang penuh dengan kebaikan. Selain baru kusadari bahwa ternyata hari Jum’at tercatat sebagai hari lahirku. Oh ya, dan juga hari lahirmu. Kita sama-sama terlahir pada hari Jum’at. Mahabesar Allah yang sudah menciptakan dan menakdirkan kita terlahir di hari yang sama. Dan semoga Allah menakdirkan kita berjodoh bersama satu sama lain. Tanpa ada pihak lain. Amin ya Robb.


Kini kecintaanku pada hari Jum’at semakin bertambah sejak kau berani membuka topengmu yang sempurna kau kenakan bertahun-tahun lalu. Oh bukan hanya kau, akupun melakukan hal yang sama. Walau sebenarnya aku tak lebih pandai darimu. Tapi pada intinya, kita sama-sama bersembunyi dibalik kepalsuan semu. Sama takut untuk menelanjangi diri sendiri satu sama lain. Hingga pada satu Jum’at, kita akhirnya berani bersuara. Berani menanggalkan segala topeng dan kamuflase wajah yang menghias sempurna. Kini kita bebas mengekspresikan diri. Tak perlu lagi sandiwara hati.


Kini aku jatuh hati pada hari Jum’at seperti aku jatuh hati padamu. Hari dimana serasa hatiku penuh dengan bunga-bunga. Lavender, orchid, hydrangea, lily maupun lotus yang kesemuanya berwarna ungu. Warna favoritku. Warna spiritualku. Namun, terlepas Jum’at tertakdir sebagai hari lahirku dan hari lahirmu, juga sebagai hari dimana kita jatuh cinta dengan yang sebenarnya, lebih dari itu, aku berharap kelak aku bisa bertemu Khalikku juga pada hari Jum’at. Aku ingin Jum’at dipilihkan untukku sebagai hari aku berpulang pada-Nya. Amin. Karena dari kabar yang kudengar, seseorang yang berpulang pada hari Jum’at menjadi salah satu pertanda bahwa ruhnya diterima sang Khalik. Mereka yang berpulang pada hari Jum’at berpeluang lebih besar untuk dibukakan pintu surga Allah. Dengan begitu, sempurnalah kecintaanku pada hari Jum’at yang penuh dengan kebaikan. Jum’at yang membahagiakan.

Kamu


Disinilah aku pada akhirnya. Aku kembali jatuh hati. Masih tetap mencintai kamu. Masih selalu mendamba kamu. Masih kental menginginkan kamu. Seakan duniaku melulu tentang kamu. Sejak dulu. Tak pernah berubah. Tak terkikis waktu. Walau harus kuakui, erosi hati tentu saja mutlak ada. Tak terhindarkan. Tapi gravitasi hati akhirnya bermuara kepadamu juga. Tak meleset ke lain lelaki.

Saturday, September 07, 2013

Ospek oh Ospek


Thanks God, musim ospek akhirnya selesai sudah. Akhirnya aku bisa bernafas lebih rileks dari sepekan belakangan ini. Sekalipun serangkaian ospek itu bukan aku yang menjalaninya, melainkan adikku, tetapi aku juga ikutan sibuk ngurusin ini-itu yang diperlukannya. Termasuk aku jadi ojeg pribadinya.

Aku tidak tahu kenapa aku sangat tidak menyukai segala hal yang berlabel MOS. Kalo boleh kuperjelas sejujurnya aku membenci rangkaian kegiatan itu. Aku tidak suka segala macam rupa tentang kegiatan MOS yang lebih popular dikenal sebagai ospek. Tak peduli apapun jenis kegiatannya, rangkaian acaranya, dan entahlah apapun embel-embelnya, aku tidak suka. Mau di tingkat SMP kek, mau di tingkat SMA kek, atau bahkan di jenjang perkuliahan sekalipun, atas nama pribadi dan naluri yang kupunya, sejujurnya aku amat sangat tidak suka pada kegiatan itu.

Bertopeng wajah sebagai masa perkenalan (maha)siswa pada lingkungan barunya yang bernama sekolah atau kampus, nyatanya kebanyakan ajang ini adalah ajang gila-gilaan untuk kakak kelas bertindak “brutal” kepada adik kelas barunya. Bentuk “kebrutalan” itu tentu saja dalam segala rupa. Dan sebagai anak baru di lingkungan yang belum pernah mereka tapaki secara familiar, si anak baru tak bisa berbuat apa-apa selain hanya TERPAKSA manut pada PERINTAH sang kakak kelas. Dan dengan keterpaksaan itu, si kakak kelas dengan pongahnya berdiri tegak bahwa merekalah sang penguasa. Heran deh, sampai sekarang aku masih bingung, apa sih yang di cari mereka (kakak kelas) dari segala rangkaian ospek yang menyebalkan itu? Karena dari kebanyakan acara serupa, acara ini lebih condong pada label kekuasaan untuk menunjukkan siapa berkuasa atas siapa. Ga perlu mikir berlama-lama, sedetik pasca dilontarkannya pertanyaan itu secara spontan semua orang sudah mendapatkannya jawabannya.

Secara tolol kuakui, aku tidak tahu apa manfaat rangkaian kegiatan ini. Dari fase MOS yang sudah pernah kulewati, yang terrekam dalam otakku adalah acara ini lebih banyak buruknya ketimbang manfaatnya. Muatan yang bermutu paling hanya sesi yang di isi oleh pihak ademik kampus yang biasanya langsung di isi oleh dosen, dekan, atau rektor. Sedangkan di jenjang sekolah lanjutan  bisa di isi oleh guru ataupun kepala sekolah. Itu pun paling-paling hanya beberapa sesi aja, dan mungkin tidak lebih dari 2 jam dalam satu sesinya. Okelah dalam satu hari itu ada 2-3 sesi dari pihak sekolah/kampusnya, tapi selebihnya? Bisa dipastikan itu adalah daerah jajahannya kakak kelas.

Dan apa yang dilakukan kakak kelas pada kesempatan yang dimilikinya? Kebanyakan adalah MARAH-MARAH GA JELAS!!! Mereka seakan sengaja mencari-cari kesalahan adik kelasnya yang terpaksa budiman menerima suara sampah kakak kelas mereka. Sebagian mungkin tidak mendengarkan dan tidak peduli, tapi sebagian lagi mungkin mengutuk dalam hati. Dan dalam hal ini, pihak-pihak yang mengutuk dalam hati bisa dipastikan lebih banyak. Siapa coba yang mau dimarah-marahin tanpa putus? Siapa yang sudi melihat ada mulut yang sukanya nyerocos melulu sepanjang hari? Dan cerocosan-cerocosan  yang meluncur adalah nada-nada tinggi dan menyebalkan? Hohoho, kalo aku sih sorry-sorry ajah. Ogah banget hariku dirusak orang.

Oh aku lupa, dari catatan ingatanku, bahkan semenjak pagi-pagi sekali kakak kelas itu sudah marah-marah. Lazimnya karena keterlambatan (maha)siswa, maupun karena ada barang-barang yang tidak di bawa oleh adik kelas. Ini seolah jadi makanan empuk buat menggiling si adik mungil. Hukuman beragam pun sudah dipersiapkan. Hukuman ini tak hanya berefek pada fisik melainkan juga psikologis. Ketika seseorang “disakiti” secara fisik, bukankah itu juga membuka peluang lebar bagi kesakitan psikologis? Andai saja mereka sadar, dampak ini lebih berbahaya dari sakit fisik. Tidakkah mereka ingat bagaimana rasanya dulu diperlakukan begitu? Lalu kenapa mereka kini melanjutkan perputaran roda yang mereka benci dulu? Ya Tuhan, ternyata manusia cepat sekali amnesia.

Itu masih dari segi perkataan, nyatanya dari segi tindakan menjejakkan kesakitan juga. Bahkan yang ini terkesan lebih parah. Bukankah perkataan selalu bersanding dengan tindakan? Untuk memudahkan kuberi sampel yang ialah adik kandungku sendiri.
Sebelumnya kuberitahu, dari rundown acara yang disebarkan, rangkaian acara akan di mulai pukul 5 pagi. Yes, jam 5 pagi pemirsa. Ini protes pertama dariku. Entah acara apa yang bisa di isi sepagi itu. MaBa diminta adzan subuh kesiangan kah? Atau mengisi kultum? Tapi nyatanya 2 hal ini tidak mungkin dilakukan mengingat kampus itu bukanlah kampus islami. Mahasiswanya beragama dan berkeyakinan beragam. Bagiku, rasanya jam 5 pagi untuk acara MOS tetap tidak masuk akal. Pengkondisian MaBa tidak perlu lah sepagi itu. Sepagi-paginya jam 6 lah. Saat langit tidak lagi gelap. Kalo jam 5 pagi sih amat sangat kepagian. Pengkondisian paling-paling hanya memakan waktu 1-1,5 jam. Ga ada salahnya juga kan rangkaian acara sesiang-siangnya dimulai jam 8 pagi? Malah enak buat semuanya. Heran juga kenapa rundown acara sepagi itu bisa di acc sang rektor. Huft. Padahal dari buku yang kubaca, sepagi itu malaikat masih turun di muka bumi mencari hamba-hamba Tuhan yang beramal sholeh. Jam 5 pagi kan bisa di pake MaBa yang muslim buat berdialog dengan Tuhannya melalui ayat-ayat Tuhan. Bisa memberatkan timbangan amal kebaikannya kelak di akhirat. Enaknya, bisa didoain malaikat lagi. Lha ini masa urusan duniawi sepagi itu? Agaknya mereka hendak saingan dengan Malaikat atau bahkan dengan Tuhan. So, which one do you choose? Memilih tunduk di hadapan kakak kelas yang akan mengeluarkan perkataan dengan nada tinggi padamu atau tunduk pada Khalikmu? So, re-think again who we are!

Dan inilah aplikasi sampel yang kujanjikan. Aku mengantar adikku telat. Yayaya, bisa ditebak perlakuan apa yang diterima adikku dari kakak kelasnya. Ketika mengahadap kakak kelas di pintu masuk, dia sudah di sambut dengan teriakan-teriakan yang memekakkan telinga. Aku bahkan mendengar dan melihat adikku di bentak dengan nada tinggi. Hukuman juga tentu saja sudah menantinya. Aku juga sempat melihat adikku disuruh lari-lari entah untuk hitungan berapa. Untuk hukuman ini pasti akan menguras fisik dan tenaga. Pemandanganku berhenti hingga disitu karena aku harus pulang dan menjemputnya lagi sore nanti. Sepulangnya dari acara itu, aku tanya ke adikku bagaimana keseluruhan acara MOS-nya. Sudah bisa ditebak, catatan merah pun tercap jelas. Bahkan sangat jelas. Catatan panitia pengurus sangat buruk. Karena ada banyak MaBa yang kehilangan bekal makanan dan minuman yang memang diminta untuk dibawa. Panitia tidak menyediakan konsumsi makan siang buat MaBa-nya. MaBa diminta membawa bekalnya masing-masing yang ditaruh diwadah tas karton dari kampus. Karena penampilan luar tas yang seragam, banyak tas yang tertukar. Dan parahnya panitia tidak bertanggungjawab atas itu. Enak banget ya mereka lepas tangan gitu aja?? Ini yang paling menyakitkan, sebagai gantinya, MaBa yang kehilangan bekal makanannya mendapat jatah satu nasi bungkus dan satu botol atau bahkan satu cup air mineral yang harus dibagi untuk 4 orang. ASTAGA OH OH ASTAGA! MENYAKITKAN!!! Aku ga tau dimana tanggungjawab mereka. Jika tidak mampu, ya tidak usah jadi panitia. Padahal dari daftar bawaan yang harus dibawa bersifat WAJIB. Masing-masing benda terhitung jumlah bawaannya, jadi kalau kurang atau kelebihan sudah ada hukumannya masing-masing. Apalagi kalau tidak bawa sama sekali. Hukuman akan sangat jelas menanti. Tapi giliran kehilangan begini gimana coba? Bolehkah mereka yang kehilangan menghukum panitia? Jawabannya TENTU SAJA TIDAK. So, sangat jelas ajang MOS hanya sekedar membedakan si penguasa dan si lemah tak berdaya. Amat sangat tidak fair.

Oh ya, catatan buruk belum berakhir. Kejadian di atas adalah kejaian di hari pertama. Di hari kedua, MaBa masih diminta membawa barang-barang wajib yang lebih condong pada bekal makanan dan minuman. Jadi sepulangnya dari MOS, kami pun berburu makanan yang terdaftar untuk dibawa. Karena daftarnya adalah makanan, aku pun tergoda untuk beli jajan. Tapi setelah di kosnya, aku lupa memindahkan cemilanku dari tas daftar makanannya. Jadilah itu terbawa sampai besok di MOS-nya. Jadinya dia membawa jajanan lebih banyak dari yang diminta. Berselang 2 hari dari ospek itu, aku tiba-tiba teringat dengan jajananku itu, dan kutanyalah pada adikku perihal jajanku. Dan tahukah jawaban apa yang kudapat? Sebuah jawaban yang menyengangkan sekaligus bikin geleng2 kepala. Bagaimana tidak? Jajanku habis, bukan karena dimakan adikku tapi karena disita seniornya yang “kelaparan”. Bahkan perkara kelebihan jajan pun tidak boleh. ASTAGA! Benarkah mereka manusia? Tidak bisa tidak aku tidak menggelengkan kepala. Bukankah lebih baik kelebihan ketimbang kekurangan? Padahal jika kekurangan pun mereka belum tentu sanggup memenuhinya, lalu mengapa jika berlebih dan belum sampai pada titik berlebihan mereka harus “selapar” itu? Ya Tuhan. Masih mending disita untuk disimpan sementara dan kemudian dikembalikan setelah ospek selesai. Karena bagaimanapun, itu bukan hak mereka. Ini tidak. Jajanku pun raib pada mereka yang “kelaparan”.

Dalam hal ini, poinnya tidak terletak pada jajannya. Jajanku cuma sedikit kok. Ga bernilai-nilai amat. Tapi sikap dan kelakuan mereka itu loh yang ga pantas. Kok ya sekaklek itu pada peraturan? Kok ya setamak itu sebagai manusia? Bagaimanapun, itu bukan hak mereka. Kenapa mereka begitu-begitu amat? Kenapa mereka tega mengambil apa-apa yang bukan hak mereka. Padahal untuk urusan ini, mereka akan berhadapan langsung dengan Tuhan. Bagaimanapun mereka sudah tergolong mencuri. Aku tidak ridho dengan cara mereka. Itu artinya mereka makan makanan haram. Silahkan saja makan makanan itu dengan nikmat tanpa keluar uang, tapi cobalah bercermin lebih dalam pada diri sendiri. Hanya sebatas itukah harga dirimu dinilai orang lain? Apakah kau izinkan tubuhmu memakan makanan yang asal-usulnya  haram? Ya Tuhan. Aku benar-benar tidak habis fikir. Kenapa mereka tidak berfikir lebih jauh. Padahal setiap perbuatan manusia akan diminta pertanggungjawabannya kelak di hari akhir langsung dihadapan Tuhannya.

Disini sekali lagi titik poinnya tidak terletak pada jajannya, melainkan pada cara mereka. Atas nama kesenioritasan dan kekuasaan, mereka telah mencuri hak-hak orang lain. Ah lihatlah, betapa ospek itu cuma menindas adik kelas saja. Atas kejadian ini, aku wanti-wanti kepada adikku agar tidak terlibat pada urusan kepanitiaan MaBa. Mereka yang senior hanya akan memperjelas catatan merah kepribadian mereka saja di depan adik-adik kelasnya. Dan tentu saja dikutuk, meskipun hanya dalam hati. Sebagai manusia yang adalah makhluk paling sempurna ciptaan Tuhan, tidakkah kita bisa memanusiakan manusia lain? Perlakukanlah manusia dengan manusiawi. Hey, wake up. You are human. I am human. She is human. He is human. They are human. And we are human. So, let’s be the real human and keep humanity.

Wednesday, August 28, 2013

Sandhy Sandoro - End of the Rainbow



And now… I promise you
That I will so… so close to you
Like you want me too
Like I want it too

Reff:
And now… I’ll pick up the star for you
If you love me too…if you love me too
I know… I’ll fly you to the sky over the seven sky
If you love me too

And now… I don’t know what to do
You got me drown so deep into
Into you… so deep into you

Reff:
And now… I’ll pick up the star for you
If you love me too…if you love me too
I know… I’ll fly you to the sky till the end of the rainbow
End of the rainbow

Little by little pass your life embrace your heart
Light my love melt into your soul
Into your soul, yeahhh
That my love that your life embrace your heart
melt into your soul
End of the rainbow, Over the seven sky

Frau ft Ugoran Prasad - Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa



Frau - Mesin Penenun Hujan





Sunday, August 11, 2013

Bahagia di Titik Nol


Kalaulah boleh aku meminta pada-Mu, aku ingin setiap saat Kau menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Sebab hanya dengan begitu aku bisa mengosongkan jiwaku. Berpasrah pada-Mu. Menerima takdir-Mu sebagai jalan hidup yang tak ingin kutolak, tak ingin kuhindari. Hingga segalanya bisa kuterima sepenuhnya dengan lapang dada dan hati terbuka. Tak ada sesal yang menyelimuti. Tak ada sakit yang menunggu sembuh. Sepenuhnya bisa kunikmati.


Kusadari bahwa segala hal yang terjadi dalam hidupku adalah kontrak hidup yang sudah Kau goreskan. Tak sedikitpun aku mampu menghindarinya. Tak sefase pun aku bisa melewatkannya. Namun Kau tahu aku hanya makhluk ciptaan-Mu yang lemah. Yang sesekali mencoba dan berpura-pura tangguh untuk meniti jalan yang sudah Kau pilihkan untukku. Tapi di balik itu semua, nyatanya aku masih sangat rapuh. Aku tak lebih hanya berpura-pura tangguh. Sementara Kau tahu pasti gemuruh yang bercokol kokoh di hatiku.


Tak terlalu sulit memang bagi-Mu, tapi bagiku itu laksana batu kerikil kecil nan tajam, pun banyak, yang bisa menggemboskan ban sepedaku. Setelah itu, aku tak punya lain pilihan, selain harus berjalan kaki menempuh sisa perjalananku yang belum selesai. Lengkap dengan menuntun sepedaku yang gembos karena kerikil-Mu. Berjalan dengan tungkai kaki yang lemah ditambah beban menggiring sepeda yang gembos itu, bebanku pun terasa lebih berat. Padahal Kau tahu persis jarak tempuhku tidak pendek.


Tapi apa guna aku mengeluh? Hanya akan mengkerdilkan ketegapan jalanku. Mendiskreditkan kekuatanku yang masih jauh tersembunyi. Sebab itulah aku ingin Kau selalu menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Kalaulah permintaanku itu terlalu berlebihan, setidaknya Kau bersedia menyisipkan beberapa detik saja titik nol padaku dalam setiap hari-hari yang Kau hadiahkan untukku. Sebab dalam titik nol itulah aku bisa sepenuhnya berserah pada-Mu. Ridha atas goresan takdir-Mu. Dan bisa sedikit saja merasa bahagia atas itu. Sebab titik bahagiaku ada pada titik nol-Mu. Bahagiaku adalah saat Kau memelukku erat. Saat aku tak mampu meminta apa-apa pada-Mu, saat aku tak mampu berkata apa pun kepada-Mu, hanya pengaduan lirih yang terlalu bergemuruh di kalbu. Pengaduan yang kubahasakan lewat deraian airmata. Namun, justru di titik itulah aku lekat dengan bahagiaku. Karena Kau memelukku erat dengan kasih-Mu. 

Tuesday, August 06, 2013

Catatan Monolog

Untuk kesekian kalinya aku menikmati kesendirianku di kos tingkat dua ini. Apa rasanya? Ga perlu ditanya. Rasanya pasti sepi. Kosong. Hampa. Nelangsa. Aku serasa hantu gentayangan yang bebas mau ngapain apa saja di kos ini tanpa seorang pun tahu apa yang aku lakukan. Aku mau jungkir balik kek, mau latihan sirkus kek, mau jumpalitan kek, itu semua asli bisa kulakukan. Tapi aku tak perlu melakukan itu. Sebab, sekalipun aku secara fisik hanya seorang diri tapi aku tahu ada kakang kawah dan adi ari-ari yang selalu menemaniku. Apa kabar ya mereka disana? Hey, tak lelahkah kalian menemaniku selalu? Kalau boleh dan kalau bisa, aku ingin bertukar tempat dengan kalian.

Seperti apa ya rasanya menemani saudara yang sedari di dalam kandungan selalu bersama, menghirup udara dan mencuri saripati nutrisi makanan lewat placenta ibu bersama-sama? Berbagi hidup untuk terus bertumbuh dan berkembang menuju bentuk paling sempurna. Dan kemudian kita terpaksa dipisahkan persis  pada saat hari kelahiran tiba. Pada saat itu kita resmi menjalani dua dunia yang sama sekali berbeda. Kalian dikorbankan, atau lebih tepatnya berkorban demi keberlangsungan hidupku yang pada suatu waktu kita akan dipertemukan kembali. Kalau lah memang begitu adanya, tidakkah kita bisa bertukar tempat hanya untuk episode menjelang lebaran yang sepi ini? Eh omong-omong, apakah kalian juga merayakan dan merasakan berlebaran? Yang sebulan sebelumnya juga haruskah berpuasa? Ataukah kalian juga memiliki ibu dan bapak, saudara-saudara persis seperti kopian keluarga besar yang kupunya? Hey, katakan padaku wahai kakang kawah dan adi ari-ari. Sebab aku ingin tahu. Aku butuh tahu tentang dunia yang kalian punya. Sebab sudah terlalu lama aku mengacuhkan kalian. Pastilah kalian kecewa memiliki saudara sepertiku. Padahal kalian selalu ada buatku. Menemani saat-saat kesendirianku. Untuk menebus keacuhanku itu, makanya aku ingin bertukar tempat dengan kalian. Aku ingin merasakan repotnya kalian menemaniku. Juga kecewanya kalian yang selalu aku acuhkan. Maafkan jika baru kali ini aku melakukan monolog dengan kalian. Tapi kutahu kalian mendengarku. Dan terimakasih untuk segala pengorbanan yang telah kalian persembahkan bagi keberlangsungan hidupku. Suatu waktu, aku pasti akan berbahagia bertemu kalian lagi nanti. Tapi sebelum masa itu tiba, tetaplah disini menemaniku. Sebab aku memang butuh teman. Dan terpenting sebaik kalian.

*Sebuah catatan dan percakapan monolog dengan saudara jauh namun sesungguhnya sangat dekat.
Sebuah salam untuk kakang kawah dan adi ari-ariku di alam mereka yang tak kutahu seperti apa.  
Sebuah catatan monolog selepas magrib menjelang isya.*

Friday, August 02, 2013

The Real of Homesick


Inilah sakit itu. Akumulasi dari keinginan-keinginan kecil yang belum juga kesampaian. Akhirnya sebulir keinginan itu perlahan namun pasti menunjukkan kekuatannya. Merobohkan system pertahanan yang paling dihindarkan.

Inilah bentuk kesakitan itu. Rupa yang terus bermetamorfosa menuju bentuk paling sempurna. Tanpa lelah.

Inilah rindu yang terus membelenggu. Hampir mematikan semua imun tubuh. Atau jangan-jangan malah sudah?

Ya, nyata-nyata kurasa bahwa inilah sakit itu. Sebongkah perasaan rindu yang terus menerus menggulung arus waktu yang sayangnya tak mampu kutangkup, terlebih lagi untuk kusalurkan.

Alangkah sakit rupanya merindu itu. Terlebih merindu mereka yang teramat jauh. Ah, rupanya bukan! Bukan mereka yang jauh. Akulah yang jauh. Lebih tepatnya akulah yang memilih menjauh. Memilih terlempar jauh dari segi dimensi jarak, ruang dan waktu dari mereka yang kutahu terus menggelindingkan do’a untukku.

Rindu ini, sakit merindu ini, mungkin masih akan terus membelengguku. Sampai kapan, entah! Menyiksaku dengan cara yang paling manis dari semua cara yang ada. Menyusup lewat alam mimpi. Berkembang liar dalam dunia imaji. Dan menyapaku dengan berbagai cara-cara lainnya. Duhai, alangkah sakit rupanya merindu.

Masih terrekam jelas sebentuk wajah satu demi satu orang-orang yang sedari dulu kusebut sebagai keluarga. Satu demi satu wajah itu berganti dalam slide imajiku. Wajah ibu yang mulai menua. Wajah ayah yang tampak lelah. Juga wajah-wajah bocah yang tampak selalu ceria. Ah, semua wajah itu entah dengan kejamnya atau malah dengan baiknya menyusup lewat alam mimpi. Membuatku seakan sesak napas. Memaksaku harus semakin keras membangun benteng pertahanan.  Membuatku dengan tanpa sengaja menabung pundi-pundi rindu. Dan betapa sakitnya bikin aku ngilu.

Thursday, June 20, 2013

Babbling


Aku ga tau kenapa tiba-tiba rasaku ga karuan seperti ini. Sebenarnya hari ini aku mendapat dua kabar, a good news and a bad one. Ketika dipertemukan dengan dua kabar yang bertolak belakang sekaligus, sebenarnya mana sih yang paling mempengaruhi si penerima kabar? Berita baik atau malah sebaliknya?

Well, berita baik yang kudapatkan sebenarnya kelewat baik malah. Aku mendapat wedding invitation dari salah seorang teman baikku selama masa studi kuliah. Tapi entah kenapa berita baik ini tidak cukup mampu mengusir badai dari efek kabar buruk yang kuterima. Padahal aku selalu kelewat excited tiap kali dapet undangan pernikahan dari temanku. Barangkali karena kabar buruk yang kudapat begitu mendominasi emosiku. Sebenarnya pun ini tidak bisa dikatakan kabar, karena aku tidak mendengar langsung berita ini dari si pengirim kabar. Aku hanya mencoba mengintip emosi yang mempermainkannya  lewat catatan pribadinya. Ga tau kenapa, tiap kali baca kisahnya selalu saja mampu menghadirkan baret luka tersendiri di hatiku. Seakan aku terjebak arus gravitasi yang cepat sekali jatuh menyentuh bumi. Terjerembab melesat dengan sangat cepat. Aku tak kuasa menghindar.

Sakit itu, luka itu, sesak itu, kecewa itu, penantian itu, aku tau pasti bagaimana rasanya. Aku mengerti sekali bagaimana rasa itu begitu menggigit. Namun sekalipun aku paham, tapi aku tak pernah sukses mengerti bagaimana menangkal semua itu. Bagaimana menghindari dari segala kesakitan itu. Ah… waktu. Benarkah kita harus takluk pada waktu? Benarkah kita selalu dipermainkan sang waktu? Benarkah waktu bisa mengobati segala sakit yang menggigit? Benarkah kita harus berdamai dengan waktu? Tapi bagaimana jika waktu lah yang pada akhirnya membuat sakit itu semakin menjadi? Semakin mengakar hingga ke ulu hati?

Hai waktu, berbaik hatilah pada hati yang merapuh. Berdamailah dengan mereka yang merindu sembuh.

Well, finally happy wedding buat sahabatku yang akan menikah. Semoga keberkahan selalu mengiringi pernikahanmu kelak. Berbahagia lahir batin dunia akhirat bersama imam yang dipilih. Dan untuk temanku yang sedang diuji, semoga Tuhan memberi yang terbaik untuk semua yang telah engkau upayakan. Aku percaya Tuhan kelewat sayang sama kamu. Pun aku percaya Tuhan sedang membuat maharencana yang sangat baik buat garis kehidupanmu kelak. Kesakitan ini semoga hanya bersifat sementara dan tidak berlama-lama menderamu. Maka bersabarlah. Sesungguhnya Allah menyertai orang-orang yang sabar. Aku percaya suatu hari badai itu akan menyarah kalah. Tak ada lagi badai kenangan. Yang tersisa hanyalah bahagia. Amin ya Robb.

Wednesday, May 29, 2013

Sedang Tidak Waras


Entahlah aku sedang diserang random jenis apa lagi. Setelah beberapa hari yang lalu puas gembar-gemborin (baca: pamerin) blogku ke beberapa orang-orang terdekat, mamerin moment-moment terbaikku, kini malah aku menarik diri dari pantauan mereka. Hari ini aku men-setting blogku hanya untuk konsumsi pribadi. Nyaris hanya aku yang bisa membuka dan membaca postingan keseluruhan blogku itu (dari settingan blog sih gitu katanya). Blog hanya bisa dinikmati oleh si penulis blog.


Padahal beberapa komen mereka tergolong bagus. Mereka suka dan kecanduan untuk membaca tulisanku. Ga nyangka kali ya mereka bahwa aku segila itu? Apalagi orang-orang yang tergolong lingkaran lama, kalo dari sekian komen mereka, yang bisa aku simpulkan sih mereka nyaris tidak percaya bahwa aku ternyata sebrutal itu. Jauh berbeda sama sekali dari aku yang dahulu. Secara dulu kan aku menghindari sekali sama yang namanya popularitas *walaupun sekarang masih iya*, eh sekarang baru punya blog ecek-ecek aja udah belagak jadi penulis professional. Apa-apa dipamerin. Hahahaha.


Entahlah. Mungkin atas dasar kesombonganku yang selangit itu aku kini akhirnya agak tersadar*cuma agak loh*. Aslinya aku emang ga bakat untuk jadi popular. Oh bukan. Yang bener, aslinya aku ga terlalu suka dijadiin popular*ini sih pede. Siapa coba yang ngatain aku popular? Huft*


Entah karena apa, dari dulu aku emang sengaja menjauhi diri dari segala hal yang be popular. Aku lebih suka menyimpan apa pun sendiri. Aku ga terlalu suka segala rahasiaku berserakan kemana-mana. Dan sesungguhnya, akun blog ini pun awalnya hanya sebagai media untuk kuberbuat, berbicara, dan berceloteh apa saja. Yup, ini akan menjadi satu-satunya media yang menyalurkan segala kegilaanku. Media lain agaknya tidak terlalu relevan untuk mencurahkan apa saja. Terbukti, beberapa tahun yang lalu *sebelum aku merilis blog ini* aku bersuara sampah di media facebook, dan apa yang terjadi? Banyak orang yang mencoba menganalisis keadaanku. Bertanya kenapa, kenapa, dan kenapa? Kenapa sampe sebrutal itu? Huft. Repot kan jadi bahan analisa orang lain? Ga di laporin mereka sebagai akun yang harus di block aja udah syukur.


Eh, aku jadi ingat. Di akun facebookku ada beberapa orang yang mengundangku make a friend. *Dan memang settingan akunku khusus buat friends only, not for public* Sebenarnya sih aku sama sekali ga kenal mereka secara langsung. I mean, aku ga pernah berkenalan dengan berjabat tangan satu sama lain dengan mereka. Jadi mereka cuma sebatas pertemanan maya aja. Dan jujur aja, tanpa bermaksud merendahkan mereka yang ingin berteman maya denganku, aku tidak terlalu respek sama pertemanan kayak gini. *Aku udah berniat mau sweeping sesiapa yang tergolong hanya pertemanan maya di akun fb-ku* Bagaimanapun pertemanan itu ada hubungan mutualisme. Ada ikatan saling menguntungkan. Buat apa coba kalo cuma sepihak aja yang mendapat keuntungan? Itu namanya ga fair. Maksud dan tujuan mereka mau temenan sama aku tuh apa? Siapa yang ngerekomendasikan namaku ke mereka? Dan atas dasar apa? Tuh kan aku jadi hammer gini? Ini nih jeleknya aku. Jujur aja, aku emang tipikal orang yang agak freak. Gampang ga suka sama orang. Dan kalo udah ga suka, aku sanggup untuk tidak berkomunikasi apapun terhadap mereka. Makanya jangan cari-cari perkara deh sama aku. Apalagi kalo aku ga pernah cari perkara sama kalian. Bahkan semut pun tidak ingin di usik, kan? Menurutku ini masih rasional.#PEMBELAAN.


Entahlah kerandoman jenis apa lagi yang menderaku kini, tapi intinya gitu deh. Setelah sibuk menyombongkan diri, kini aku mau menepi. Menjauh dari keramaian. Aku ga mau dianalisis. Aku hanya ingin bebas sebebas-bebasnya menjadi diriku apa adanya tanpa banyak orang tahu apa yang sebenarnya terjadi padaku. Kadang-kadang mentalku yang begini ini bikin aku berpikir ulang: mental begini kok mau jadi penulis?? Hadewh. Emaaaaaaaaaaaaaaaaaaaak. Aku ingin pulang ke rahimmu.

Tuesday, May 28, 2013

Narsis


Entahlah maksudku apaan ngepost tulisan ini. Ini random serandom-randomnya. Atau narsis kali yah? Kelewat narsis abis lebih tepatnya. Sewaktu asyik baca-baca dan liatin pameran koleksi fotoku pribadi bareng orang-orang ternama di blog ini, aku tiba-tiba dapat ide cemerlang buat memamerkan benda ini. Ini bukan benda sembarang benda buatku. Benda inilah yang menjadi sarana bagiku buat dapetin tanda-tangan orang-orang yang aku idolakan. Jadi, mari kita sambut dengan tepuk tangan yang meriah, pena kebanggaanku. Inilah dia... Prok prok prok.









Semua tanda tangan yang terbubuhi di buku itu didapetin dari mata pena merahku itu. Makanya aku tiba-tiba dapet ilham buat mamerin pen ku itu. Biar pembaca blog ini pada tau mata pena yang berjasa menggoreskan tanda tangan penulis-penulis yang kukagumi.  Hahahaha. Entahlah aku sedang kesambet apa sampe harus mempublikasikan tulisan dan pen ini. -.- 

Pena ini selalu kusiapin di tas buat minta tanda tangan para-para penulis yang akan aku kunjungi. Buat persiapan khusus berebut tanda tangan gitu. Hahaha.#NIAT BANGET. Tapi terbukti loh, ini ampuh! Meskipun beberapa penulis ada yang bawa pen sendiri, seperti Dee misalnya; tapi gak jarang juga ada beberapa penulis yang kelupaan bawa pen sebagai bekal. Tandatangan di semua buku di atas menjadi bukti, bahwa pen merahku ini sangat berjasa buat dapetin tandatangan mereka. Jadi ya itu, semua itu harus dipersiapin. Percuma kan kalo bawa semua buku si penulis, tapi kalo ga ada mata pena yang bersetubuh dengan kertas di buku si penulis? Be smart deh. Penulis juga manusia, bisa lupa. Jadi yuk siapin pen sendiri kalo mau ketemu idola kita. Termasuk kalo mau ketemu aku#Eh?? ^_^

Fatamorgana

Seringkali pandangan kita terjebak pada sesuatu yang disebut fatamorgana. Ilusi-ilusi kecil, atau bahkan besar kali yah, mampu menyulap mata menjadi suatu hal yang kita inginkan/harapkan. Sepserti misalnya keadaan seorang musafir di padang pasir, setelah bermil-mil berjalan di gurun pasir, dalam keadaan capek dan haus yang tak tertanggungkan, tiba-tiba berilusi ada mata air yang terus-terusan mengalir, sehingga ia bisa minum sepuas-puasnya demi menghilangkan rasa dahaga yang menyerangnya. Ia seolah-olah melihat air di tengah gurun pasir itu. Padahal sebenarnya tidak ada. Jadi keberadaan air itu hanya sekedar fatamorgana pandangan matanya saja.

Sama halnya seperti keadaan di atas, beberapa kali mataku terjebak pada fatamorgana. Pada event Bentang Street Festival beberapa hari lalu, mataku nyaris seharian terjebak fatamorgana. Ini barangkali puncak fatamorgana dari sekian efek fatamorgana yang pernah menyerangku.

Aku tau keadaan mataku memanglah tidak lagi sempurna. Ada cacat yang menyerangku setelah aku tumbuh dewasa. Aku tak lagi mampu melihat apa saja dengan mata telanjang. Hiks. Pada jarak-jarak tertentu aku butuh alat bantu untuk melihat. Seperti seorang tunanetra yang membutuhkan huruf Braille demi mengeja huruf-huruf, seperti itulah aku membutuhkan kacamata dengan lensa minus sekian demi melihat apa saja dalam jarak pandang jauh. Ya, se-esensial itu.

Tapi fatamorgana itu tak juga mampu bisa kutepis, sekalipun aku tengah menggunakan alat bantu untuk indra penglihatanku. Jadi heran deh, sebenarnya apa sih factor penyebab timbulnya fatamorgana itu? Jelas-jelas pada acara itu, alat bantuku tak pernh lepas dari indra penglihatanku, tapi kok ya rasa-rasanya fatamorgana itu hebat banget menjeratku?! Huft.

 Dua orang dari pengisi acara Bentang Fest itu mampu mengundang sumber penyebab fatamorgana pada penglihatanku. Pertama: mas Gundi sebagai MC dari acara tersebut. Dan kedua: Aryo, yang di undang langsung dari Jauh, Bandung; sebagai pengisi hiburan acara itu. (Bukan Aryo mantan kekasih saya loh, sumpah!!!#eh.) Sebenarnya ada apa dengan mereka berdua? Barangkali pertanyaan itu deras menggantung pada tanya kalian. Nih, aku kasih alasannya, yang barangkali mutlak menjadi alasan-alasan yang hanya kucari-cari saja. Tapi terserahlah pada mau ngomong apa, pertama kali melihat mereka mataku sudah menangkap fatamorgana pada diri mereka.

Ini namanya mas Gundi. Tiap kali ngeliat orang ini, fatamorgana yang menjebak mataku selalu mengait-ngaitkan dengan seorang penyanyi dan composer kebanggaanku, Pongki Barata. Dan memang ini bukan kali pertama aku melihat mas Gundi. Seingatku, ini kali keempat aku sudah melihanya nge-host. Jadi sebenarnya sejak pertama kali melihatnya, aku udah ngefans nih sama nih orang. Hahaha. Menurut pandangan mataku, ada kemiripan antara mereka berdua. Lihat bener-bener deh, menurutku sih mirip. Atau cuma fatamorgana gw aja yak? Huft.



 

Yang kedua, si mas Aryo (Sekali lagi aku tegasin, bukan Aryo mantan kekasih saya dulu loh ya? :p). Orang yang baru sekali aku lihat ini, baru aja aku lihat di acara ini, sekali lagi menjeratku pada fatamorgana. Orang ini menurut pandanganku agak mirip dengan orang paling ganteng di Indonesia Raya ini, mas Akhdiyat Duta Modjo. Sang pokalis dari musisi Sheila on 7. (Aku yakin semua pada setuju kalo mas Duta itu orang paling ganteng se-Indonesia Raya. Gak boleh menyangkal loh ya? Hahaha). Entahlah mirip darimananya, tapi tipuan mataku sudah tak terbantahkan lagi. Bahkan aku mencari-cari pembenaran dari temanku demi menyanggah fatamorgana yang menyerangku. 





  









Aku teriak-teriak ke temenku, kalo mas Aryo itu ada kemiripan dengan mas Duta. Aku teriak-teriak udah kayak kesetanan aja. Hahaha. Awalnya sih dia tegas menolak, tapi lama-kelamaan setelah kupaksa berkali-kali, akhirnya dia mengiyakan juga. Hahhaha. Entahlah dia cuma mau menyenangkan hatiku aja yang emang pencinta mas Duta banget, ataukah memang dia melihat ada unsur-unsur kemiripan dari segi fisik. Eh aku ingat, akhirnya temanku itu bilang “kalo mas Duta segemuk dia (baca: Aryo), mereka pasti mirip banget.” Oke, kalimat ini cukup menjadi penegasan bahwa memang diantara mereka berdua ada kemiripan. Bahwa mataku masih agak waras. Gak rusak-rusak amatlah. Hehe. Walaupun kalimat itu aku sanggah juga pada akhirnya, karena harusnya dia (baca: Aryo) itu yang semestinya agak kurusan dikit biar lebih menyerupai mas Duta. Secara siapa yang lebih tua dan lebih familiar gitu loh?? Hohoho. Tapi intinya, aku bersyukur bahwa dalil fatamorganaku dibenarkan. Yihaaaaaaaa.

Itu tadi alasan fatamorganaku. Sekarang aku mau cerita efek yang ditimbulkan dari fatamorgana tersebut. Ah, barangkali kalian sudah bisa menebak efek apa yang menyerangku. Yup, tidak lain dan tidak bukan adalah aku jadi beringasan. Serasa kesetanan. Ujung-ujungnya apa? Aku wajib foto bareng sama mereka. hahaha. Jadilah aku berburu menanggalkan malu demi foto bareng dengan sosok fatamorganaku. #Ampuni saya ya Tuhan. Amin.

Nih disini aku sertakan barang bukti. Sekalian biar kalian pada bisa lihat kemiripan antara mereka. Plis lihat bener-bener ya. Karena kalo kalian mengiyakan itu pertanda baik buatku. Artinya aku gak perlu chek-up ke dokter mata. Bahwa mataku masih waras. Gak parah-parah amat kerusakannya. Jadi, Tolooooooong, bantu aku melewati semuaaaaaaaaaa#Ups.

Monday, May 27, 2013

Tentang Ahmad Tohari

Lagi ngubek-ngubek isi lepi, eh nemu tulisan ini. Ternyata aku pernah bikin catatan tentang Ahmad Tohari. Posting ah! :)

***
Aku suka pada ketampanannya. Wajah lelaki jawa. Ah tidak! Aku suka senyumnya. Oh bukan, aku suka binar matanya. Tatap matanya lembut. Ah, tutur katanya juga halus. Barangkali seperti hatinya. Aku bersyukur bertemu dengannya. Amat sangat bersyukur.


Meski telah tampak kerutan halus pada wajahnya, juga kulit tubuhnya, tetapi ia masih terlihat gagah. Juga bergelora. Dan aku masih berbangga memilikinya. Lihatlah, betapa lembut hatinya. Aku sejenak menahan napas dan merasakan tenggorokanku tersekat sesaat ketika ia menunjukkan kelembutan hatinya. Aku hampir tak percaya bisa melihatnya langsung di depan mataku. 


Sepertinya ia seorang yang pernah terlukai oleh sejarah. Entah oleh apa. Tampak lewat tatapan matanya yang kosong saat ia bercerita tentang kehidupannya, tentang dunianya. Padahal aku sedang menikmati sepotong ceritanya. Lalu ceritanya terhenti, tiba-tiba kudengar serak suara, mata basah, juga butiran airmata satu-satu tumpah. Miliknya. Pemandangan berikutnya kulihat ia merogoh saku celananya demi menemukan selembar sapu-tangan. Ia menghapus airmatanya. Ia berusaha menjaga kestabilan emosi, lalu ia berusaha bercerita lagi. Namun, airmata satu-satu itu sesekali tampak jatuh. Aku terharu. Ah, tak kusangka ia seorang yang berhati lembut.


Pertama kali aku mengenal namanya dari seorang guru. Saat itu umurku kira-kira 15 tahun. Entah oleh keberanian apa aku berani bersuara pada guruku bahwa aku ingin meminjam buku susastra. Lalu guruku memilihkan karyanya. Sebuah buku sastra berjudul Kubah. Padahal guruku itu menyebut nama pengarang asing yang beliau favoritkan, yang kini juga menjadi pengarang favoriku, Sidney Sheldon. Dari cerita singkat yang guruku paparkan terdengar amat menarik ditelingaku. Ingin rasanya aku membaca buku itu. Tapi tidak, guruku tidak meminjamkan karya Sheldon, guruku memilihkan karya penulis nasional. Penulis itu bernama Ahmad Tohari. Seingatku, itulah pertama kali aku membaca buku susastra, klasik pula. Darisana lah barangkali tumbuh bibit cinta dihatiku. Pada buku pada umumnya, juga pada karya Ahmad Tohari pada khususnya. Untuk Sidney Sheldon itu menjadi kekhususan berikutnya.


29 April 2012. Sebuah tanggal yang akan ku kenang dan tak ingin kulupakan. Sebuah tanggal yang membuktikan bahwa Tuhan sangat baik padaku sebab Dia berkenan mempertemukan aku dengannnya. Mendengar sepenggal kisah dari lembar perjalanan hidupnya. Juga mengenal sedikit karakter dari sekian karakter yang melekat padanya. Sebuah nama dan sosok yang dulu sama sekali tak pernah terfikir bahwa aku bisa bertemu langsung dengannya, seorang penulis ternama. Ia bernama Ahmad Tohari. Penulis yang kukagumi karena kesederhanaannya. Alasan lain setelah aku bertemu dengannya, aku suka pada senyumnya, lihatlah manis sekali. Juga binar matanya, binar mata yang begairah memperbaiki peradaban manusia.





Segudang Alasan

Ini nih salah satu alasan, yang sialnya selalu aku jadiin segudang alasan, kenapa aku berat sekali buat ninggalin Jogja. Gimana gak coba? Nyawa cintaku hampir-hampir semua ada disini. Keajaiban-keajaiban pada hidupku susul-menyusul terjadi di kota berhati nyaman ini. Nih aku mau pamerin beberapa bukti dari hal-hal sederhana yang aku dapetin di Jogja, yang barangkali buat sebagian orang tidak penting - sangat tidak penting bahkan! Tapi buatku semua itu menjadi embun-embun mimpi yang sudah menjalar ke seluruh sel-sel tubuhku, sudah mengakar hingga ke ubun-ubun, nyaris melekat pada keseluruhan jiwaku. Ibarat kata semua itu sudah menyatu dengan kulit, dan ketika aku dipisahkan dari kota ini seakan seluruh tubuhku dikuliti. Tau dong rasanya dikuliti seperti apa? Walaupun kita tidak pernah tau persis rasanya dikuliti itu seperti apa, tapi dengan akal kita, kita bisa membayangkan seperti apa rasanya. Bahkan ngebayanginnya aja udah bikin ngeri. Dikuliti, mau dilakukan secara perlahan-lahan ataupun tanpa perasaan, pada akhirnya tetap saja rasanya ga karuan. 

Ini nih moment demi moment, keajaiban demi keajaiban yang berbaik hati menyapaku di Jogja Berhati Nyaman ini. Check these out yeah:

1. With Sheila on 7 (2009 until now)

























 2. With Jikustik (2009 until now)






























 3. With Pongki Barata (December 2010)





 4. With Dee (January 12th, 2012 & December 2012)



5. With Ahmad Tohari (April 29th, 1988; eh 2012 maksudnya*kelupaan, serasa ngisi biodata :))




 6. With Nestor Rico Tambunan  (April 29th, 2012)


 7. With Sudjiwo Tejo (May 26th, 2013)



 8. With Andrea Hirata (May 26th, 2013)