Monday, October 12, 2015
Derita Perempuan
Ada derita yang harus ditanggung seorang perempuan. Derita jatuh cinta tapi tak bisa berbuat apa2. Bintang, tolong tunjukkan kami jalan. 🌌🌟🌠🌌🌟ðŸŒ
Thursday, August 20, 2015
Mudah-mudahan Tidak Begitu
Tadi siang aku berkesempatan makan siang bersama seorang
teman setelah sekian lama kita gak spend time together even just for a little
thing. I love this moment, of course. Karena ketika kita makan, kita gak cuma
sekedar makan. Banyak cerita dan berita terkini yang bisa kita bagi. Bukan
tentang sesiapa, tapi tentang dunia kita sendiri. Kita gak ngomongin gossip
seleb karena aku bukan tipikal orang yang update akan hal itu. Dan itu gak
penting, tentu saja.
Cerita siang tadi berfokus pada pernikahan. Awalnya dia
bercerita tentang dirinya sendiri yang ianya adalah calon pengantin. Dia cerita
tentang ribetnya ngurus ini itu tentang pernikahan. Penentuan waktu juga
menjadi sumber ‘kepusingannya. Kemudian percakapan bergeser menjadi penyebutan
nama A, B, C, D yang baru aja nikah, dan yang akan nikah dalam waktu dekat.
Maka terdatalah mereka, orang2 terdekat yang kita kenal berlomba2 menuju
gerbang pernikahan.
Berbagai latar belakang pernikahan pun beragam. Dari 4 nama,
aku tuturkan 2 saja ya. Ada yang setelah sekian lama – lebih dari 3 tahun –
berhubungan sepasang kekasih tetapi tak direstui oleh pihak keluarga si perempuan,
tapi baru Minggu lalu akhirnya tersenyum senang karena perjuangannya kini
berbuah menang. Mereka akhirnya menikah. Kronologinya? Si lelaki nekat mendatangi
orang tua si perempuan, kemudian dia pun mendapat tantangan besar. Ortu si perempuan
menantang tamunya untuk menikahi anaknya esok hari. Voilaaaa… maka menikahlah
mereka. Sampai disini, saya harus bilang “itu hebat!”. Allah memang sang
Penjodoh terbaik.
Ada lagi, si B, baru minggu lalu dilamar dan akan menikah
selambat2nya akhir tahun ini, begitu rencananya. Kronologinya? Si B ini
perempuan ya. Asli Jogja, tapi setahun lalu dia tinggal di Kalimantan. Hubungan
mereka bermula lewat perkenalan, ajang perjodohan lebih tepatnya, dari seorang
teman. Ya teman makan siang saya ini, salah satunya. Hehe. Karena mereka
berdua. Tadinya teman makan siangku ini ngerekomendasiin aku buat temen
lelakinya itu. Tapi aku dinilai terlalu galak oleh temanku lainnya. Jadinya otomatis
di black list lah saya. Ahahaha. Oke, lupakan part ini. Kita focus ke mereka. Jadi,
berhubunganlah mereka ini secara jarak jauh. They had met before, but never know
deeper each other. They built their long distance relationship between Yogyakarta
and Kalimantan. Tapi sekarang tidak lagi. The woman has come to her homeland. It’s
great, right? Obviously. Kalau sudah jodoh, bisa bilang apa? Lagi2 cuma bisa bilang
Allah selalu punya cara.
Tapi dibalik cerita yang mengagumkan di atas, aku terkejut
dengan penuturan sisi lain cerita temenku. Menurut temenku, lelaki ini setahun
yang lalu punya pacar dan putus. Kini jadi mantan dong ya? Nah, mantannya si
lelaki itu kabarnya akan nikah bulan Desember tahun ini. Sementara si lelaki baru
ja ngelamar temenku dan nentuin bulan pernikahannya direncanakan bulan
November. Nah loh?? Aku sih sejujurnya ga mikir apa2 tentang kronologi ini. Apakah
ini semacam ajang balap2an nikahan atau apa. Tapi setelah denger argument temenku
jadinya aku ya gitu deh. Agak mikir kesitu juga. Bukan mikir tentang ajang
balapannya, tapi jadi semacam bercermin dan berdo’a dalam hati. Mudah2an aku dijauhkan
dari hal yang begini. Mudah2an aku cukup ‘baik’ untuk dijauhkan dari hal2 yang
begini. Aamiin.
Kesannya mengagumkan kalau kita baru deket sama seseorang,
kemudian dalam waktu singkat kita dilamar dan langsung diajakin nikah. Buat
yang gak tau, pasti it sounds amazing. Mungkin begitu cara Tuhan menjodohkan
kita. Tapi kalo ada kronologi begini kan jadi ngerasa gimana gitu. Kan semacam
korban. Nah, aku jadi agak mikir. Bercermin. Mudah2an kalau saatnya aku harus menikah,
tidak ada unsur aneh2 dibaliknya. Belajar jadi lebih mawas diri. Mudah2an calon
suamiku kelak cintanya tulus. Gak ada sisa cinta atau motif lain dari cintanya
yang lalu. It hurts, anyway. Pun, aku jadi bersyukur juga, untung aja lelaki
itu gak jadi dikenalin sama aku. Bukannya aku kegeeran bakal dinikahin dia
seandainya aku lah orang yang dikenalkan kepadanya, sungguh bukan itu. Ya, jadi
bersyukur aja. Buatku, bukan begitu caranya untuk menuju ke pernikahan. Aku masih
cukup sabar menunggu keajaiban Tuhan. Kenapa harus tidak percaya pada rencana
Allah?
Aku sih berdo’a, mudah2an si lelaki gak ada motif begitu. Kalau
beneran ada kan kasian ceweknya. Sebagai orang luar, aku doain semoga mereka
berdua berbahagia. Kini dan nanti. Nah dari cerita orang2 pun kita bisa
belajar. Kita selalu butuh cermin untuk ‘merias’ diri. Merias untuk mawas diri
itu perlu.
Tuesday, August 18, 2015
Just Perspective of Mine
Kebiasaan deh
gw, kalo udah di depan laptop jadi bingung mau nulis apa. Padahal tadinya udah
punya kerangka mau nulis apa. Ga cuma satu malah. Sejumlah moment pasca mudik
pengen gw kristalkan di jurnal ini. Moment2 terbaik sewaktu di rumah pengen gw
paparin lagi. Tapi ya gitu deh, namanya juga Ucrit, sifat pelupanya akut parah.
Jadi kalo nanti tulisan ini ga jelas alurnya ngomongin apa, ya harap dimaklumin
ya pemirsa.
Hmm… apa ya?
Gw beneran bingung mau nulis apa. Lol
Oke. I got
it. Kemarin pas lebaran di rumah, gw ketemu sama sohib gw semasa SMA. Cewek,
dan belum menikah. Kita seumuran. Gw sih bebas cerita ke sohib gw ini tentang
apa aja, khususnya tentang cowok. Nah, karena momennya lebaran, biasa kan ya
keluarga dan tetangga pada nanyain tentang sesuatu yang sebenarnya ga pengen
kita dengar. Apalagi kalo ga tentang pertanyaan seputar pernikahan, yang
ujung2nya jatuh ke lembah terror, pemirsa. Sebab pertanyaan demikian bikin
sakit telinga dan pening kepala.
Di umur kita
yang sudah layak menikah adalah bukan maunya kita masih sendiri. Siapa coba
yang ga mau menikah? Kita juga mau kali. Tapi mbok ya jangan diteror segitu
hebatnya lah. Kita berdua memang ga punya kekasih, tapi yang ngedeketin kita
banyak. Lol. Kita cuma agak berhati-hati milih yang terbaik untuk pendamping
hidup kita nanti. Karena untuk menuju kesana, ke pernikahan, banyak
pertimbangan yang harus ditakar seorang perempuan. Oke, gw agak susah ngomongin
perspektif tentang kita berdua, jadi akan gw persempit ke perspektif gw
sendiri.
Untuk menikah,
setiap orang punya pertimbangannya masing2. Laki2 dan perempuan. Gw sendiri
punya pertimbangan yang mungkin sama dengan pertimbangan orang kebanyakan. Dan kemungkinan
lain bisa saja berbeda. Barangkali ini cuma berbeda versi dan berbeda dalam cara
memaparkan.
Sejujurnya
di usia gw yang sekarang, perspektif gw tentang suami agak sedikit “bergeser”. Gw ga ngerti ini baik atau malah sebaliknya. Setahun
belakangan ini, lewat berbagai peristiwa yang gw hadapi, akhirnya gw ‘dituntun’
ke jalan ini. Kriteria suami sewaktu gw berumur 23 tahun misalnya berbeda
dengan kriteria suami ketika saya berumur sekarang ini. Kalo dulu rasanya gw
ngerasa cukup sama suami yang bisa bikin gw nyaman. Nah, kalo sekarang itu ga
cukup buat gw. Gw lebih condong berfokus kepada seorang imam. Gw sadar
pengetahuan agama gw minim, makanya gw ngerasa gw butuh payung yang meneduhkan
gw dalam sosok imam. Dia yang akan menjadi panutan gw dalam membangun rumah
tangga. Tentang cinta? Ga usah ditanyakan, buat gw itu mutlak ada. Karena gw
bukan orang yang mudah jatuh cinta. Kalo gw ga suka sama seseorang sulit sekali
buat gw memaksakan diri untuk mengenal orang itu lebih dekat. Atau bahkan
membalas pesan dan menjawab panggilan teleponnya. Tapi kalo gw nya udah cinta
sama seseorang, keadaan sesulit apapun gw percaya sama dia. Gw percaya kami
bisa melalui apa saja.
Ramadhan
kemarin, gw nyempatin diri sholat tarawih di masjid yang agak jauh. Bukan masjid
yang dekat dari lingkungan kos. Bersama teman gw, kami hunting masjid yang
sekiranya bacaan surahnya bagus. Disitu, gw takjub. Gw suka mendengar bacaan
imamnya, karena memang terdengar bagus dan merdu. Ternyata enak ya kalo
diimamin sama orang yang bacaan Al-Qur’annya bagus? Nah, imaji gw pun meluas. Gw
pengen punya suami yang kayak gitu. Yang tiap kali ngimamin gw sholat, gw bergetar
karenanya. Nah, pandangan gw tentang suami akhirnya agak bergeser ke imam. Gw pengen
dibimbing ke jannahnya Allah SWT. Gw ingin berjodoh sama suami gw bukan cuma di
dunia, tapi juga di akhirat. Nah, jadi lah gw ngerasa standar gw untuk calon
suami gw nanti bukannya menurun, tapi malah naik. Me?? I try my best to be his
choice.
Tetiba gw
ingat ada yang bilang tentang seni meningkatkan kualitas diri. Jadi, ketika
kamu berharap sesuatu, maka kamu juga harus melakukan perbaikan2 pada dirimu. Misalnya,
pasanganmu mungkin sekarang ini nilainya 8, kamu 6. Nah, ada beda kan? 6 tidak
sama dengan 8. Belum pantas, makanya belum dipertemukan dalam jodoh. Disinilah kamu
berkewajiban memantaskan diri dengannya. Syukur2 kamu bisa lebih baik darinya,
tapi minimal ya nilainya sama lah. Nah, gw mengadopsi teori itu. Gw ngarepin
sosok imam yang bisa membimbing gw dunia dan ukhrawi, jadi gw harus melakukan
perbaikan disana-disini. Gw suka banget liat cowok pake sarung. Rasanya lebih
adem dan enak di pandang. Standar ketampanannya pun rasanya meningkat tajam. Me?
Gw mau menyelaraskan itu. Kalau dia aja pake sarung, masa gw pake jeans? Ga cocok
kan? Makanya gw lagi belajar berubah. Perubahan kecil yang gw coba lakukan
sekarang ini, gw lagi mencoba stay away from jeans. Gw lagi belajar pake rok. Agak
susah memang, tapi gw coba pelan2. Gw juga berusaha meningkatkan kualitas diri gw yang lain. Dan semuanya
dimuai dengan bertahap dan pelan2. Semoga saja cara ini bekerja. Aamiin.
Jadi ya gitu,
tetap ngalor-ngidul kan tulisannya? Ahahha. Tak apa lah ya, yang penting udah
terapi nulis.
Nite, people…
Zzzzzzzzz
Saturday, August 15, 2015
Pengakuan Semu
Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sebuah pengakuan.
Kemarin saya mendapat kiriman buku dari seorang sahabat. Rasanya
senang luar biasa. (So, I thank to Ika who bought and sent this book as a gift
to me. I got it free. Hurraaaaay! :* ) Gimana nggak coba? Buku ini adalah buku
karangan penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Pasalnya berbulan-bulan saya
hunting buku ini di semua cabang Gramedia di Yogyakarta, tapi tak juga kunjung
menemukan. Buku ini kehabisan stock di semua cabangnya. Padahal saya terhitung
rajin banget ‘ngapel’ ke tempat ini. Alhasil pencarian saya pun berbuah
sia-sia. Makanya pas teman saya kirim pesan melalui whatsApp messenger dan
menawarkan buku ini, saya ga ragu untuk nitip dia. Eh, taunya dia baik banget
ngasih buku ini sebagai hadiah buatk saya. Thanks for this friendship, Ika. If you
were a guy, I ensure myself that I will fall in love with you easily. Lol
Karena buku ini sudah sekian lama saya cari jadi saya gak
menunggu waktu lebih lama untuk membuka dan membacanya. Langsung aja saya buka
buku itu dan menjelajahi halaman demi halamannya. Tadaaaa… baru buka halaman
pertamanya aja buku ini berhasil membuat saya entah. Tetiba ngerasa cemburu luar
biasa sama istri penulisnya. Sejauh yang saya baca, penulis mendedikasikan
tulisannya untuk istrinya. Ada nyawa dan cinta luar biasa untuk istrinya di
setiap tulisannya. Saya bisa menangkap getar itu. Huhu, saya mendadak iri setengah
mati baca buku itu. Saya kan juga mau dibikinin tulisan bagus kayak gitu. Tapi
siapa coba yang mau bikinin saya tulisan dan menjadikan saya sebagai subyek
dalam tulisannya? Nope! *Poor me*
Membaca buku ini benar2 membuat saya bercermin. For some
parts, I find myself in loving someone. Terkadang saya merasa saya berperan
sebagai Fahd Pahdepie, saya punya rasa yang kurang lebih sama dengan pengarang.
Saya suka menulis, meskipun tidak sebagus milik Fahd. Sesekali tulisan saya
berporos atas nama cinta. Tertuju untuk satu nama yang ianya ada di kedalaman hati
saya. In other parts, I feel like I was Rizqa Abidin, her beloved wife. Saya bisa
mencintai lelaki sebesar cinta Rizqa pada Fahd. Saya bersedia mendukung lelaki
terkasih saya dalam keadaan apapun demi keutuhan cinta dan jalan menuju
bahagia.
Buku ini mendorong
saya untuk jujur dalam mencintai seseorang. Betapa segala hal terasa jauh lebih
mudah ketika kita akrab dengan kejujuran. Tak perlu ada yang disembunyikan. Apalagi
dalam cinta. But Me?? Saya adalah orang yang paling sulit mengaku bahwa saya
jatuh hati pada seeorang. Saya lebih memilih memendam rasa ini entah di alam
mana. Sekalipun saya tahu, itu sakit. Saya memilih menanggungnya. Rasanya lebih
baik begitu. Tapi lewat buku ini saya
seakan diingatkan sesuatu, saya didorong untuk melakukan sesuatu. Entah kenapa
saya terus-terusan didorong untuk jujur. Saya dipaksa untuk mengatakan saya
cinta dia. Ingin sekali saya mengetik
pesan atas nama pengakuan dan mengirimkan pesan itu padanya. Akhirnya berperanglah
saya dengan diri saya sendiri. Saya hampir gila karena ini. Saya mengakui bahwa saya cinta, tapi toh tak
bisa juga saya jujur kepadanya. Saya menyerah. Saya kalah. Saya tak pernah ahli
dalam berbahasa cinta. Akhirnya saya tak menulis dan mengirimkan apa-apa
padanya. Begitulah, saya selalu kalah. Dan rasa ini tetap merdeka di alam maya.
Dorongan untuk sebuah pengakuan, imbauan untuk berekpsresi
jujur akhirnya cuma menjadi moral lesson buku itu yang gagal saya terapkan.
Sekian.
Friday, August 14, 2015
Happy Friday
Untukmu, akhirnya aku memilih ada. Entah apakah kau akan merasakan getarnya atau kau malah memilih memicingkan mata.
Happy Friday...
Happy Friday...
Tuesday, August 11, 2015
Hunting is over
Selasa yang penuh asa. Buku yang dicari akhirnya ada. Selamat menikmati perjalanan, Rumah Tangga.
29(4)88. Noted!
:))))
29(4)88. Noted!
:))))
Monday, August 10, 2015
Never Stop Learning!!!
Sekolah hanyalah sebuah gedung. Sebuah bangunan fisik. Sejatinya, pada semesta lah kita belajar segala. Dan Tuhan adalah Mahagurunya. Selamat hari Senin...
Friday, June 05, 2015
...
Kau selalu tampak bahagia ketika tersenyum. Apalagi ketika tertawa
renyah. Itulah barangkali sebab kenapa aku jatuh hati padamu. Pada senyummu
kutemukan teduh. Alasan lain kenapa aku suka mencuri pandang ke arahmu.
Friday, May 15, 2015
Stay Away
Saya selalu heran tiap kali melihat anak berseragam sekolah,
kok ya sudah pandai merokok. Ironisnya, mereka merokok tanpa dosa. Dalam artian
mereka dengan gampangnya mengisap rokok di sembarang tempat. Seperti pagi tadi
misalnya, saat saya mau berangkat kerja.
Di perempatan lampu merah, saya menemukan dua anak lelaki berseragam
sekolah dengan santainya merokok di jalan raya. Dua-duanya. Yang dibonceng dan
juga yang membonceng. Saya melihat mereka dengan tatapan ironi. Mereka seakan tidak
lagi peduli dengan lingkungan sekitar. Tidak lagi mengindahkan seragam yang
sedang mereka kenakan. Padahal tentu saja seragam itu lah yang seharusnya mereka
banggakan. Seharusnya seandainya pun mereka pandai merokok, mereka mampu
beradaptasi. Mereka bisa melakukannya secara sembunyi-sembunyi. Tidak terang-terangan
mengumbar kebiasaan buruk mereka di sembarang tempat. Sebab bagaimanpun, mereka
belum pandai menghasilkan uang sendiri. Mereka belum seharusnya mengenal erat
benda itu. Menurut saya, mereka belum pantas berprilaku seperti itu.
Saya selalu sedih tiap kali melihat orang yang gemar
merokok. Bahwa merokok telah menjadi bad habbit in their daily activities. Bahwa
mereka sulit sekali stay away dari dzat beracun itu. Bahwa mereka tak sanggup
melewatkan hari tanpa mengisap sebatang rokok pun. Bahwa mereka tak sanggup melampaui
hari tanpa meracuni organ-organ tubuh mereka sendiri. Saya sedih sekali tiap
kali melihat orang yang barangkali dengan bangganya mengisap rokok dan racun2 yang terkandung didalamnya.
Berpura-pura tak paham bahaya dari kebiasaan buruk yang sayangnya mereka sukai
. Berpura-pura menutup mata bahwa keluarga meraka sedih dengan kebiasaan
mereka. Kesedihan saya menjadi bertambah berkali-kali lipat jika mereka adalah
orang-orang yang saya sayangi. Lingkungan yang saya kenali dan kasihi. Bapak
adalah salah satunya.
Dari tiga lelaki di rumah kami, bapak satu-satunya lelaki
dewasa yang merokok di keluarga kecil kami. Bapak termasuk smoker berat. Dalam
sehari bapak bisa menghabiskan beberapa batang rokok. Saya sedih tiap kali
melihat bapak memindahkan kandungan racun di dalam rokok tersebut kedalam
tubuhnya. But, I can do nothing but praying that he will be okay. But I know, it’s
such kind of impossible, right? Saya hanya bisa berdo’a semoga banyak bisa
segera berhenti sekalipun saya tak pernah paham seberapa keras Bapak mencobanya.
But I thank God, dua adik lelakiku bukanlah seorang pecandu rokok. Tak
sekalipun aku pernah melihat mereka merokok di hadapanku. Bagaimana jika
dibelakangku? Dibelakang keluargaku? Tanpa sepengetahuan keluargaku? Saya
selalu berfikiran positif bahwa mereka tidak. Sebab setahuku, sulit sekali kan
bagi mereka yang perokok untuk terus-terusan sembunyi untuk tidak merokok? Sulit
sekali kan untuk terus-terusan menahan? Dua lelakiku ini, jika mereka di rumah,
mereka tak pernah dekat-dekat dengan korek api, atau pemantik api apapun.
Saya cerita begini, bukan bermaksud membuka aib keluarga
sendiri. Keterbatasan saya untuk menjauhkan bapak dari rokok, itu lah yang
paling saya sedihkan. Tapi berdasarkan dari apa yang saya lihat, saya membangun
mimpi bahwa nanti jikalau saya sudah bersuami, saya ingin suami saya bersih
dari asap rokok. Walaupun saya belum tahu sih siapa orang yang akan menjadi
suami saya nanti. Tapi paling tidak, saya ingin berperan aktif dalam
menghentikannya dari aktifitas merokok. Syukur2 saat nanti saya diperistri
olehnya, saya sudah panen. Saya tinggal terima beresnya. Lol
Tak peduli seberapa beratnya calon suami saya nanti di cap sebagai
smoker, saya optimis saya bisa membawa kebaikan pada hidupnya. Walaupun akan
dilakukan secara perlahan-lahan. Sebab tak ada yang berani jamin hasil
instan,bukan?
Bukannya saya mau besar kepala, tapi inilah faktanya. 2 dari
3 mantan kekasih saya mulai belajar stay away dari rokok. 2 dari mereka, saya
ikut mendampingi proses kenonaktifan mereka. Pernah sih mereka sesekali
curi-curi merokok di belakang saya, tanpa sepengetahuan saya, tapi berdasarkan
hasil interogerasi saya mereka akhirnya tak sanggup berbohong. Ada malah yang
karena curi-curi merokok, karena system tubuhnya sudah menolak, dia akhirnya
batuk2. Lumyan lama pula batuknya. Dan sejujurnya saya bersyukur atas respon
tubuhnya yang demikian. Jadinya kan dia mikir2 kalo mau merokok lagi. Dengan
atau tanpa saya larang. Tubuhnya otomatis sudah mendeteksi racun. Jadinya kan
beban saya lebih ringan. Hehe.
Tentang the other man, ini orang candunya menurut saya juga
lumayan berat. Kalo ga dibatasi mungkin saya lama-lama ikut dia racuni juga. Bukan
untuk mengisap rokok juga, bukan itu, sebab saya ga pernah tertarik untuk coba2
merokok, tapi dia bisa2 meracuni saya dengan kandungan dzat dalam rokok
tersebut. Kan jatuhnya saya jadi perokok aktif. Menghirup asap rokoknya juga
selagi saya ada di dekatnya. Ga maulah saya. Jaga kesehatan itu susah, eh malah
dia mau merusak usaha saya. Rugi lah saya. Akhirnya saya membatasi dia untuk ga
merokok di dekat saya. Paling tidak selagi dia bersama saya. Saya ga mau dia meracuni
tubuhnya sendiri, tapi lebih dari itu, saya ga mau diracuni olehnya. Akhirnya pelan-pelan dia mau mengikuti aturan
main saya. Lol *tersenyum bangga* But a bad news I a got this afternoon, nih
orang udah berani coba2 merokok lagi. Alasannya sih karena di gunung dingin. Cuma
di gunung doang kok. Huft. Agak kecewa saya. Komitmen orang ini kurang tebal
dan kurang kuat.
Ah, saya jadi mendadak ingat. Mantan kekasih saya yang lain
juga sedang usaha untuk stay away dari rokok. Tapi untuk lelaki satu ini, saya
tidak menemani prosesnya. Saya buta tentang usahanya. Saya bahkan ga tahu kalau
dia perokok. Solanya dulu kita LDR-an. Pun saat kita ketemu, dia pintar. Dia ga
pernah merokok di depan saya. Di dekat saya. What a cute man, right. Haha. Saya
tahunya dia merokok saat telponan sama dia, iseng2 tanya gitu. Eh dia jawabnya
gitu. Rasanya bersyukur banget dihargai sebegitu tingginya. Makasih loh ya,,,
Oh ya, ceritanya kan saya sekarang ini sedang jatuh hati
(sekaligus patah hati).Nah, lelaki yang saya jatuhi cinta ini ya sayangnya
termasuk smoker. Sedih deh saya. Apalagi saya ga punya kapasitas untuk
mengingatkannya. Apalah saya baginya. Siapalah
saya baginya. Saya bukan apa-apa. Saya cuma seseorang yang hanya berani
memandanginya dari jauh. Dari maya dan semu. Rasanya ada nyeri saat melihat dia
begitu akrabnya dengan lintingan rokok ditangannya. Menghisap asap kedalam
rongga paru-parunya. Mungkin juga jantungnya. Masuk kedalam serambi kanan dan
kirinya, bilik kanan dan kirinya. Rasanya saya gak kuat menyaksikan pemandangan
itu. Tiap kali liat dia merokok, saya melihat begitu banyak tekanan pada
dirinya. Mungkin baginya merekok semacam stress healing. Ada yang ingin dia
alihkan. Tanpa dia sadari, dia mengalihkan berbagai racun kedalam tubuhnya. Rasanya
pengen banget saya mematikan rokoknya dan membuangnya jauh2. Gak peduli dia ga
cinta sama saya, paling tidak dia cinta lah sama dirinya sendiri. Dia rawatlah
kesehatan fisiknya demi orang2 yang kini dan kelak ia kasihi cinta. Saya ingin
mengingatkan bahwa dia seharusnya mulai belajar untuk stay away dari rokok
sebelum ia kecanduan parah. Tapi lagi2, siapalah saya. Kalo bahasa kekiniannya “aku
mah apa atuh”.
Nah, gitu. Jadi pada intinya, saya gak tahu cerita ini
tentang apa. Tapi saya percaya bahwa kalian, para pembaca saya, lebih pintar
menangkap kesimpulannya. Lebih memahami makna yang tersirat dalam tulisan ini. Saya
hanya berharap, kelak lelaki yang saya kasihi termasuk orang yang mencintai
diri sendiri dan keluarganya. Mengasihi dengan hal sederhana, salah satunya
menjauhkan diri dari asap rokok. Aktif maupun pasif. Itu saja.
Subscribe to:
Posts (Atom)