Saturday, November 05, 2016

Menatap Kupu-kupu dalam Pantulan Diri


As usual tiap kali ga ada kerjaan ya jatuh-jatuhnya dengerin music. Aslinya pengen nulis sih, tapi nulis itu jatuhnya lebih complicated. Butuh waktu yang lebih lapang, dan yang terpenting butuh otak yang cemerlang. Sebagai anak yang isi otaknya pas-pasan, harus sadar diri nih sayanya. Hahaha. Enyiwei, ditengah keisengan dengerin music di playlist hape secara random, surprisingly I found ‘Butterfly by Mariah Carey’. This song made me so speechless. Diantara harap dan impian yang sengaja digaung-gaungkan setiap harinya, tiap hari ga brenti ngomong sama diri sendiri lewat pantulan cermin, tiap kali punya kesempatan selalu mencoba untuk mengingat-ingat dan merapal mantra “I want to be a butterfly, no matter what!”, rasanya kayak ‘kesentil’ sudah berapa jauh usaha saya demi menuju kesana? Menyedihkan bahwa saya belum mengepak kemana-mana, saya masih ada dalam tahap telur. Masih dalam metamorfosa kupu-kupu yang paling awal, paling dasar. Perjalanan masih teramat sangat jauh. Sedih.

“Spread your wings and prepare to fly, for you have become a butterfly, Fly abandonly into the sun!” begitu kata liriknya. Seperti kita tahu bahwa untuk menjadi kupu-kupu memiliki step perjalanannya yang tidak singkat. Ia butuh waktu untuk menjadi tumbuh sempurna. Keelokan dan kecantikannya bukanlah hasil sulap seketika. Ia berproses setahap demi setahap untuk berubah menjadi makhluk yang cantik. In the case of me, apa yang ingin saya perbaiki lebih kepada memperbaiki kualitas diri. Secara fisik sih, saya sudah bersyukur dianugerahi fisik sebagaimana adanya. Ya tinggal perawatan ke salon aja tiap bulannya, haha (kidding men!) biar tampak lebih cerah auranya. Gedubrakkk! Oke, saya lanjutkan. Semakin bertambahnya umur (padahal anaknya ga sedang berulang tahun :D), saya merasa wajib untuk selalu memperbaiki kualitas diri saya sebagai manusia. Terlebih sebagai hamba. Nah, disinilah pusat sentralnya.

Dari monolog yang selalu saya ucapkan, dari mantra-mantra yang selalu saya rapalkan, dari setiap magic sihir yang selalu coba saya tanamkan ke alam bawah sadar, nyatanya semua itu belum cukup keras menggema gaungnya. Bahkan untuk didengar oleh telinga saya sendiri. Usaha saya belum sebanding dengan mantra-mantra gila yang setiap saat saya rapalkan. Tapi tak mengapa. Saya sadar kupu-kupu butuh waktu. Pertanyaannya sekarang “berapa banyak waktu yang saya butuhkan?” Saya perluas lagi “berapa banyak waktu yang saya punya untuk berubah kesana?” Nah, disanalah titik masalahnya. Saya tidak tahu berapa banyak waktu yang saya punya untuk saya berhasil bermetamorfosa. Syukur-syukur saya masih punya cukup waktu untuk mengarah kesana. Allah, Engkau tahu, saya mempunyai niat itu. Engkau tahu, saya bersiap berjalan mendekat ke arah-Mu. Tolong, permudah segala harap dan inginku. Dekatkan aku pada hal-hal yang lebih baik dari kualitas diriku sebelumnya. Wahai Dzat Yang Maha, segala menjadi mudah atas kehendak-Mu. Mudahlanlah jalanku. Aamiin.

Untuk menjadi cantik bak kupu-kupu tidak bisa didapat dari hasil instan. Setiap tahap metaforfosa memiliki kesakitan-kesakitan tersendiri. Untuk bertumbuh dan berkembang, kita tidak butuh ijin dari orang lain. Sejatinya kita hanya butuh niat dan berjanji kepada diri sendiri. Dan sungguh betapa dzolimnya kita jika mengkhianati janji pada diri sendiri. Nah, sekarang PR terbesar saya adalah belajar bersepakat dengan diri sendiri. Untuk memperoleh hasil terbaik, semuanya diperoleh secara bertahap. Saya sadar tahap saya menuju kesana masih sangat jauh, tapi mantra-mantra gila itu tidak pernah berhenti saya rapalkan. Berharap magic bekerja disana. Paling tidak itu sebagai alarm dan warning buat diri saya tentang mimpi untuk terbang ke langit biru. Say hello to the sun!

Dari konsep kupu-kupu saya sekaligus belajar tentang hal lain. Mengutip kata-kata Diana Rikasari “Good deed will always you get greater return”. Saya belajar bahwa kebaikan-kebaikan yang kita lakukan ternyata semuanya berpulang kepada kita. Dengan bahasa yang sederhana mungkin menjadi “apa yang kita tanam, maka itulah yang akan kita petik.” Dalam interpretasi saya, hal itu menjadi lebih luas maknanya. Bahwa selain kebaikan akan berpulang kepada kita, ada hal lain yang ternyata jauh lebih esensial. Bahwa kebaikan yang kita lakukan ternyata menghasilkan bibit unggul yang lain. Saya permudah dengan sederhana, misalnya nanti ketika saya sudah mempunyai anak, kebaikan-kebaikan yang saya lakukan saya harap ototamis juga tertanam kepada calon anak-anak saya. Dan cucu-cucu saya, dst. Dalam sampel diri saya, saya berharap saya menjadi bibit terbaik dari apa yang orang tua saya punya. Kebaikan-kebaikan yang mereka tanamkan dalam keluarga saya, pembiasaan diri dalam berbagi, saya berharap saya tidak lebih buruk dari amalan-amalan mereka. Saya berharap amalan-amalan baik mereka tidak berhenti di saya dan bisa terus saya lanjutkan, bahkan saya kembangkan dan tingkatkan. Sungguh, setelah membaca berbagai kutipan-kutipan tentang kupu-kupu, setelah membaca berbagai buku tentang pelipatgandaan kebaikan saya berharap saya dapat terus mengamalkan kebaikan-kebaikan. Sekecil apapun itu. Karena saya sadar kebaikan-kebaikan itu akan menjadi amal jariyah juga bagi kedua orang tua saya, sekalipun nantinya keuda orang tua saya telah tiada. Saya berharap kebaikan-kabaikan yang saya kerjakan berkat ajaran-ajaran mereka menjadi penerang alam kubur dan penolong mereka kelak di alam kubur dan akhirat sana (tetiba mata berkaca-kaca ngomongin ini, saya berdo’a semoga kedua orang tua saya sehat selalu dan diberkahi setiap kehidupannya oleh Allah SWT). Baik kebaikan yang sifatnya individu yang berpulang kepada diri sendiri maupun kebaikan-kebaikan dalam tatanan lingkungan peradaban manusia. Kebaikan dalam bermasyarakat.

Lalu, jika sekarang saya ditodong pertanyaan “apa yang paling engkau ingini dalam hidup ini?” Maka akan saya jawab “saya hanya ingin menjadi kupu-kupu”. Itu saja. Ianya cantik, namun mudah-mudahan sayap saya tidak serapuh sayap milik kupu-kupu.