Wednesday, August 27, 2014

Do'a Senja

Untuk segala perasaan yang selalu kupersembahkan padamu, semoga kamu tetap bisa merasakannya jauh sampai kedalam hatimu. Melekat kedalam jiwamu.

Tuesday, August 26, 2014

Rinjani


Halo, apa kabar oleh2 dari Rinjani? Saya pesan jauh-jauh hari. Saya menanti.
Apa?? Tidak dibawakan? Saya kecewa. Naik lagi sana!!

Monday, August 25, 2014

Benci

"Aku benci saat menyadari kamu ada dalam tulisan-tulisanku. Benci saat kamu nyata menjadi nyawa dalam sistem limbikku. Kamu... bolehkah pergi saja? Enyah. Kemana saja. Asal jangan bercokol berlama-lama dan lestari disana. Aku ingin merdeka."

Entah (1)

"Semakin kesini, saya semakin tidak paham apa yang seharusnya tetap saya jaga diingatan. Seiring berrotasinya bulan dan matahari, ingatan manusia melebur. Entah mengapa, terkadang saya merasa itu baik."

Entah

"Percayalah, saya hanya ingin bahagia.
 Tapi entah, apa itu bahagia???"

Kegalauan Massif

Apa yang akan diobrolkan dua gadis manis berusia 26 tahun disela-sela waktu makan siang mereka? Yap, tak lain tak bukan adalah obrolan tentang pernikahan. Ianya adalah kegalauan massif gadis2 seumuran kami yang belum menikah.

Diusia ini ada kegalauan tersendiri yang tak mungkin bisa ditepis. Sekalipun kita mencoba mengelus dada, meminta untuk bersabar pada diri sendiri. Mencoba meyakinkan bahwa nanti akan tiba saatnya. Akan datang masanya. Walaupun semua itu masih teramat rahasia. Jadi ya ga perlu lah terlalu khawatir2 amat mikirin itu semua. Toh semua sudah ada jalannya. Namun semenit kemudian kita sudah tersentak, tersadar akan usia kita. Dan pertanyaan pamungkas pun kembali rajin memantul. "Sudah berapa usia saya? Kapan saya menikah? Dengan siapa?" Dan seabrek pertanyaan galau lainnya pun menggema. Kegalauan massif itu pun mau tidak mau kembali merongrong. Menusuk lebih tajam dan lebih dalam. Mengelak? Cuma bikin lelah saja. 

Tiap kali ketemu keluarga atau teman sebaya yang ditanyakan ga pernah jauh2 dari seputar masalah pernikahan. Mula-mula hanya tentang percakapan ringan, santai dan basa-basa busuk. Tapi tetap aja ujung2nya akan sampai pada pertanyaan pamungkas juga. "Kamu gimana sekarang? Masih sama yang dulu? Siapa ituh nama masnya? Terus terus kapan nikah?" Pertanyaan manis yang dilontarkan dengan semangat berapi-api. Huft. Padahal sadar ga sih mereka tanpa ditanyakan pun tanya itu setiap hari memantul dalam rongga dada kita, eh saya? Nambah beban saja.

Terbukti. Tadi, sewaktu makan siang saya dan teman saya saling menanyakan pertanyaan yang sebenarnya paling kami hindarkan. Seingat saya, saya tidak membuka percakapan ini lebih dulu sebab saya tak punya bahan cerita apa2 untuk dibagikan. Tapi satu pertanyaan sudah terluncur dengan sangat hati-hati, selanjutnya pertanyaan beruntun sudah siap menanti. Kami yang sama2 tak paham dengan teori seputar pernikahan siang tadi berpura-pura paham. Kami mencoba membuka teka-teki tabirnya. Tentu saja dengan segenap teori terbatas yang kami berdua punya.

Setelah puas bertukar cerita, saya bisa tarik satu garis besar obrolan kami siang tadi. Adalah seputar sindrom pra-nikah. Sebenarnya apa itu sindrom pra-nikah? Benarkah ia ada? Saya yang baru2 ini terpaksa melupakan mimpi tentang dunia yang sangat ingin saya sentuh itu tiba2 tersadar barangkali kemarin itu saya hanya merasakan fase ini, sindrom pra-nikah. Namun, tanpa berdalih menyelamatkan diri sendiri bisa saya katakan bahwa titik masalah saya tidak sesederhana itu. Saya mengakhiri karena menyadari saya dan kekasih saya kemarin tidak bisa selaras dalam berkompromi. Hingga akhirnya mau tak mau hubungan kami terpaksa kandas dipersimpangan jalan.

Apa lagi yang paling diharapkan seorang wanita berusia 26 tahun kepada kekasihnya? Tentu saja ikatan istimewa. Bukan, tentu saja bukan seikat bunga beragam jenis dan warna yang dikirimkan setiap hari. Sekalipun itu bunga favoritnya. Ikatan yang paling diidamkan adalah ikatan tali nikah. Ikatan itu akan dimulai dengan sebuah acara khitbah temu keluarga yang pantas yang digelar dikediaman sang wanita. Tapi sebelum beranjak pada titik ini, si wanita akan dirongrong oleh beragam pertanyaan yang bisa bikin kepala migrain. Siklus haidh bisa2 tak lancar. Pertanda stress mengintai.

Saya ga pernah tahu apa yang ada di isi kepala lelaki yang akan memutuskan bahwa dia siap untuk menikah. Siap untuk melamar. Apakah sama seperti yang wanita pikirkan? Menumpuk beribu keraguan? Duhai, susah memang jadi wanita. Sebuah lamaran dari lelaki terkasihnya adalah impian yang paling diidam2kan. Tapi ketika si lelaki memberanikan diri ingin berkunjung melamar si wanita mendadak bingung. Beragam ketakutan rame2 menyerang. Beragam pertanyaan tanpa tahu antre datang. Benarkah telah tiba waktunya? Benarkah kontrak takdir sudah menyapa? Benarkah dia orangnya? Benarkah dia jodoh saya? Selanjutnya, pertanyaan lain dengan senang hati akan susul menyusul menyusup. Dan bersiap-siaplah tak nyenyak tidur.

Sekalipun saya wanita, tapi saya ga tahu kenapa wanita begitu takut ketika memutuskan "oke, saya siap menikah. Sekarang. Bersama dia yang ada di depan mata saya. Dia yang datang melamar saya. Sekarang. Bukan nanti. Bukan bersama si A, B, C, D, atau E sampe Z.". 

Kesiapan wanita untuk menikah adalah satu keputusan besar yang harus difikirkan dengan sejumlah pertimbangan. Bejibun penyelarasan. Barangkali itulah keputusan paling besar sekaligus paling sulit yang harus dihadapi wanita sepanjang hidupnya. Berani memutuskan untuk hidup sepanjang usia bersama satu lelaki yang sama yang ia sendiri tak tahu apakah benar ini dia jodohnya. Apakah tepat pilihannya. Apakah keraguan semacam ini wajar bagi wanita? Saya beneran ga tahu.

Saya memang belum pernah secara beneran dan resmi dilamar oleh satu lelaki. Kalau wacana sih sudah. Tapi apa mau dikata, barangkali belum rezeki saya. Saya juga belum tahu bagaimana rasanya dihantam keraguan menjadi calon istri dari seorang lelaki. Tapi yang bisa saya bagi disini, yang entah apakah sama dengan ketakutan2 wanita diluar sana, saya takut dengan pilihan saya. Saya takut saya keliru arah. Saya takut saya tidak bisa menyeimbangkan ego saya yang terlampau tinggi dan berbahaya ini. Saya takut jikalau nanti saya lebih banyak menyakiti ketimbang berbagi kasih. Saya takut saya tidak mampu menempatkan diri ditengah2 keluarga besar calon suami saya. Saya takut saya tidak bisa memasak sesuai seleranya. Seenak masakan ibunya. Saya takut saya gagal menjadi peneduh lahir dan jiwanya. Saya takut bahwa bukan saya lah alasan dan tujuan hidupnya. Saya takut kalau2 bukan saya lah tempat berpulangnya satu2nya. Saya takut kalau saya bukan penyejuk bagi rumah kediamannya. Yang lebih parah, saya takut kalau2 ternyata saya hidup bersama lelaki yang tidak mencintai saya. Ketakutan lain yang paling bikin ngeri ialah saya takut kalau2 ternyata saya menikah dengan lelaki yang tidak saya cintai. Seingin-inginnya saya menikah, sebisa mungkin saya menghindari yang satu ini. Saya bisa mati berdiri jika ini terjadi. 

Oh ya, ketakutan lain tentu saja masih setia mengelilingi. Saya takut kalau2 ternyata lelaki yang menikahi saya diam2 masih menyisakan cinta untuk wanita lain selain ibunya. Saya takut menapaki kisah hidup baru yang kata kebanyakan orang jauh berbeda dengan kisah percintaan selagi berpacaran. Saya takut berbagi kisah hidup yang sama sekali saya tak tahu alurnya. Yang pada akhirnya saya tahu kesemuanya itu menarik seutas benang merah. SAYA TAKUT TIDAK BAHAGIA. Bila diijinkan menjabarkan turunan dari kata diatas, saya hanya punya satu turunan saja. Saya takut tidak bahagia bersama pilihan hidup saya. Itu saja. Satu ketakutan dasar yang membikin saya harus berfikir jernih sebelum mempersilakan satu lelaki berkunjung ke rumah saya nun jauh disana demi bertemu ibu bapak dan sanak keluarga saya.  Sebelum mengiyakan satu lamaran seorang lelaki. Sebelum berani mengangguk dan memutuskan mantap "ya, saya bersedia." Tepat dihadapan ibu bapak dan segenap keluarga tercinta.

Ah... sebenarnya pun saya tak paham benar apa yang saya takutkan. Sama tak paham kebahagian seindah apa yang saya imajikan, yang coba saya ingin wujudkan. Apa itu bahagia?? Barangkali saya juga tak mengerti apa itu bahagia. Barangkalipun  saya tidak punya bingkainya. Yang pada akhirnya kata bahagia bagi saya hanya meyisakan beribu tanda tanya. Huft, ketololan macam apa ini yang menyerang calon pengantin wanita, eh, yang menyerang saya?

Bahagia. Adalah kebutuhan mutlak setiap insan. Tujuan yang paling diharap2kan. Oh, tentu saja Ini hanya rumusan sederhana saya. Sekalipun saya tak mengerti apa2 tentang bahagia; sama seperti kita tak paham tentang hidup tapi toh pada akhirnya Tuhan mengijinkan kita untuk hidup dan menghidupi (kita berkewajiban belajar darisana), toh Tuhan dengan sangat berbaik hati menghadiahi dan mengamati kita untuk menjalani hidup yang sama sekali tak kita pahami; saya rasa setiap insan layak berbahagia. Berbahagia karena merdeka dengan pilihannya. Berbahagia dengan caranya sendiri. Dengan jalannya sendiri. Lengkap  dengan paket konsekuensinya sendiri2. 

Terimakasih.


 









Sunday, August 24, 2014

Rindu Ibu

Minggu pagi. Saya sedang menikmati rindu. Bersama satu botol minyak kayu putih pemberian ibu.

Wajah Ibu

Aku memantulkan wajah pada cermin. Kutemukan rupa ibu disana. Ada wajah milik ibu pada keseluruhan wajahku. Ya, aku memang anak perempuan ibu. Tidak percaya? Ini buktinya.


 
Saya ada karena cinta Ibu.
Ibu. Saya cinta.
Selalu.
Tak berbatas waktu.






Pagi adalah Memandangi Kalian

Pukul 8 pagi. Akitifitas pagi di rumahku biasanya akan dimulai pada pagi setelat ini. Aku yang terpaksa beranjak dari kasur empuk setelah dengan sengaja bermalas-malasan hingga jarum jam menunjuk ke angka 8. Si batita Bagas yang sudah anteng didepan tipi dengan siaran kartun animasi kesayangan. Sementara masnya masih betah berlama-lama menyandarkan kepalanya di bantal mickey mouse andalan. Ibu dan bapak yang akan segera bergegas turun dari belakang menuju kamar mandi. 

Ibu, bapak, dan aku biasanya akan mulai berebut kamar mandi. Berebut mandi pagi. Bergantian. Menunggu gilirian. Terkadang aku mempersilakan ibu masuk lebih dulu, tapi tak jarang pula aku tak mau kalah dari ibu. Sementara bapak, dengan langkah santai akan menuju kamar mandi paling belakang dengan handuk ditangan. Kamar mandi utama yang beberapa tahun lalu setelah dibangun hampir2 tak terjamah. Aku suka memandangi punggung bapak saat beliau melangkah ke kamar mandi belakang. Bapak kini banyak mengalah. Mengalah demi wanita2 kesayangannya. Terimakasih, Bapak.

Pagi setelat ini, biasanya aku akan mencium harum sabun milik ibu. Lalu beberapa menit kemudian akan melihat ibu sujud bersimpuh. Juga melihat bapak dengan baju koko putih bersiap melakukan hal serupa. Aku?? Aku yang dengan sengaja akan senang hati melihat mereka berlama-lama. Terpaku. Bersyukur. Aku suka berlama2 melihat ibu dan bapak sujud bersimpuh di atas sajadah pada pagi hari saat matahari beranjak naik. Aku sejuk melihat mereka berdoa dengan merintihkan suara. Sebab aku tahu, disana ada harap dan doa buatku. Terimakasih, Ibu dan Bapak.

Halo matahari, selamat pagi. Malaikat pagi masih ada di rumahku kan? Tolong sinari, terangi, berkahi. Tolong jaga ibu bapakku wahai Dzat yang Maha.


Pagi adalah memandangi kalian. Ibu. Bapak.
-Ucrit Violette-

Tersedak Rindu



"Terlalu banyak rindu yang menggantung. Tapi kekasih, aku tak ingin jatuh limbung."

Mencoba Lupa

Malam Minggu, atau dini hari. Aku tidak ingin lagi mengingat kamu.
Pergilah... sebebas yang kamu mau.

Saturday, August 23, 2014

Seiring berjalannya waktu,
aku sadar,
ada memang hal-hal yang seharusnya dilepaskan. Dilupakan.
Mimpi. Kenangan. Kamu.

Friday, August 22, 2014

Tulisan tak Bernama

Ada yang ingin kutumpahkan lewat tulisan-tulisanku di jurnal pribadiku ini. Tapi entah kenapa akhir2 ini aku enggan menulis. Enggan mengeksplorasi segala hal yang ada di kepala. Sekalipun aku ingin. Hmmm, rasanya aku kehilangan esensi dari menulis itu sendiri. Dulu aku bebas menulis apa saja. Peduli apa dengan komentar orang lain. Suka, alhamdulillah. Ga suka, ya gak apa2. Aku ga pernah ambil pusing.

Kini agaknya ingatanku mulai luntur dengan niatanku dulu sewaktu membuat akun ini. Ini semacam jurnal kehidupanku sehari-hari yang bebas bisa kuisi dengan apa saja.  Tulisan sampah. Foto bedebah. Dan segala macamnya. Ya, semacam diary lah. Kerennya, jurnal ini mampu merekam dengan sempurna setiap detil waktu kronologi. Mengalahkan memori otakku yang volumenya hanya sepersekian mililiter saja. Oh ya, dan itulah alasanku menulis. Karena aku sadar, amat sangat sadar dengan kemampuan otakku. Paling2 aku hanya mampu mengingat beberapa momen saja. Itu pun tidak pernah sedetil kejadian sebenarnya. Selalu ada hal2 yang terlupakan. Atau memang sengaja dilupakan. Dan aku memang seorang yang pelupa berat. Ga sedikit orang2 terdekatku yang kecewa sama beratnya karena aku kerangkali melupakan momen2 kebersamaan yang bagi mereka tidak terlupakan, atau mungkin tidak layak untuk dilupakan.

Aku sedih. Aku kehilangan greget untuk menulis. Oh damn, bahkan juga membaca. Aku bahkan lupa kapan terakhir kali aku pergi ke toko buku dan membawa pulang sesuatu darisana. Lupa kapan terakhir kali aku membaca, juga lupa buku (si)apa yang kubaca. Tanpa aktifitas baca tulis, aku kosong. Sama kosongnya seperti jurnal ini tanpa tulisan. Dan otomatis akan menghadirkan kekosongan lain yang berantai. Kekosongan pembaca. Kekosongan rasa. Kekosongan jiwa.

Keenggananku untuk menulis memang beralasan. Paling tidak buat diriku sendiri. Aku yang akhir2 ini kelewat introvert menjadi alasan utama yang tak bisa kutepis. Ya, beberapa tahun belakangan aku memang ekstrim berubah. Paling tidak itulah penilaian jujur dariku tentang diriku sendiri. Ironis memang. Oke, lupakan. Kita tidak sedang membicarakan ini. Hmmm, lalu apa hubungannya introvert dengan dunia tulis menulis? Ini alasannya.

Dulu aku mengemas niatan menulis dengan formula yang sangat sederhana. Bahwa esensi menulis adalah untuk menulis. Menulis tanpa tendensi apa-apa. Tanpa pretensi apa-apa. Terserah mau menulis apa saja, toh ini satu2nya media yang kupunya untuk bersuara. Terserah mau nama sesiapa saja yang ingin kukristalkan di jurnal sampah ini. Menjadi abadi bersama tinta tak bercetak. Menjadi lestari bersama cerita sederhana yang sengaja kualurkan lewat bahasa rasa. Ya, seharusnya mereka berbangga. Tapi, justru disitulah alasannya. Keintrovertanku membuat tulisanku mandek.

Aku kehilangan esensi menulis itu. Aku kehilangan kata2. Aku kehilangan rasa. Segala rasaku direnggut paksa dariku. Tanpa permisi. Dan aku tak ingin membuat dia berbangga dengan tulisan yang sengaja kurangkai untuk dia. Rasa itu pada akhirnya membendungku. Membatasi kursor ketikku. Aku tak ingin menulis tentang seseorang. Ya, that's the problem. Oh no, in fact it's my problem.

Aku tak lagi bisa bebas berekspresi. Karena aku tahu, dia mengintaiku. Aku tak mungkin menulis tentang segala rasaku tentang seseorang yang kutahu ia selalu mencoba membaca aku. Ya, aku tak suka "dibaca". Aku tak ingin rahasiaku dibaca dan dianalisa langsung olehnya. Aku terpaksa harus mengingat kode etik menulis. Ga mungkin aku menumpahkan segala rasaku disini, di jurnal ini. Tetiba rasaku mendadak tumpul. Aku gagu. Padahal seperti yang sudah kukatakan, inilah satu2nya media yang kupunya. Lalu, kalau tidak disini kemana aku harus bersuara?? Efek sampingnya hatiku menjadi lebam. Membiru. Disini, aku hanya ingin menulis. Aku ingin bebas bersuara. Aku ingin bebas mengekslorasi segala isi hati dan kepala. Bukankah menulis itu tak berbatas? Tapi, disini dia ada. Dia hadir. Dia membaca. Dia tahu. Dia peduli, meski tidak cinta.

Thursday, August 14, 2014

I Wanna be Much More Brave



Terlalu banyak hal yang tidak kuketahui. Tentang hidup. Tentang dunia. Tentang semesta. Dan bahkan tentang diriku sendiri. Ya, ironis memang.

Entahlah. Akhir2 ini aku seringkali merasa tidak berada dimana-mana. Tidak menapak pada satu tempat yang nyata. Tidak disini. Tidak juga disana. Aku gamang. Sialnya, entah oleh apa. Seringkali aku terjebak pada labirin yang kuciptakan sendiri. Padahal labirin itu, bukankah seharusnya aku paham betul setiap detilnya? Bukankah seharusnya aku tak tersesat didalam labirin rancanganku sendiri? Bukankah seharusnya aku bisa menemukan jalan keluar itu bahkan dengan menutup mata? Ya,seharusnya begitu. Memang seharusnya begitu. Tapi hidup sama sekali berbeda dengan labirin. Sekalipun labirin itu buatan kita sendiri.

Aku belajar menapaki kisah hidupku yang baru setelah akhirnya aku memutuskan sesuatu. Satu keputusan besar yang kubuat entah berdasar analisa apa. Keputusan itulah yang akhirnya berbuntut kegamangan pada tegak langkahku. Balon yang kugenggam erat akhirnya pecah, meletus, padahal balonku tidak hijau. Tapi aku tak ingin menyesal karena aku sudah memilih. Benarkah aku? Salahkah aku dengan pilihan itu? Hmm... Entahlah. Tipis sekali ternyata bedanya penyesalan dengan penerimaan.

Tentang kisah hidupku yang baru, seperti yang kutuliskan tadi.  Sejujurnya ini sama sekali tidak baru. Beberapa tahun lalu, aku pun pernah berada pada fase yang nyaris sama. Tapi kali ini, rasanya menjadi jauh berbeda. Kali ini aku ingin lebih berani, sekalipun getir itu masih kental membayangiku. Aku tak ingin lagi pura-pura takut atau bahkan pura-pura berani menghadapi garis hidupku. Bersamanya atau tanpanya. Aku membiarkan segalanya mengalir sebagaimana adanya. Bahkan tanpa pengharapan apa-apa. 

Kekosongan ini memang tidak akan membawaku kemana-mana. Tapi aku butuh satu keberanian. Berani sendiri. Berani membunuh mimpi indahku. Berani mengubah haluan do’aku. Berani membiarkannya lepas. Berani membiarkan diriku bebas tanpa pengharapan apapun. Sebab aku tak ingin lagi merasakan sakit hanya karena mengingatnya. Hanya karena tak bersamanya. Ya, seperti yang kukatakan kepadanya “aku ingin melarungkan sejauh-jauhnya perasaanku kepadanya.” Kemana ia akan berlabuh? Aku sendiri tak tahu. Maukah kalian membantu?