Wednesday, August 28, 2013

Sandhy Sandoro - End of the Rainbow



And now… I promise you
That I will so… so close to you
Like you want me too
Like I want it too

Reff:
And now… I’ll pick up the star for you
If you love me too…if you love me too
I know… I’ll fly you to the sky over the seven sky
If you love me too

And now… I don’t know what to do
You got me drown so deep into
Into you… so deep into you

Reff:
And now… I’ll pick up the star for you
If you love me too…if you love me too
I know… I’ll fly you to the sky till the end of the rainbow
End of the rainbow

Little by little pass your life embrace your heart
Light my love melt into your soul
Into your soul, yeahhh
That my love that your life embrace your heart
melt into your soul
End of the rainbow, Over the seven sky

Frau ft Ugoran Prasad - Sepasang Kekasih yang Pertama Bercinta di Luar Angkasa



Frau - Mesin Penenun Hujan





Sunday, August 11, 2013

Bahagia di Titik Nol


Kalaulah boleh aku meminta pada-Mu, aku ingin setiap saat Kau menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Sebab hanya dengan begitu aku bisa mengosongkan jiwaku. Berpasrah pada-Mu. Menerima takdir-Mu sebagai jalan hidup yang tak ingin kutolak, tak ingin kuhindari. Hingga segalanya bisa kuterima sepenuhnya dengan lapang dada dan hati terbuka. Tak ada sesal yang menyelimuti. Tak ada sakit yang menunggu sembuh. Sepenuhnya bisa kunikmati.


Kusadari bahwa segala hal yang terjadi dalam hidupku adalah kontrak hidup yang sudah Kau goreskan. Tak sedikitpun aku mampu menghindarinya. Tak sefase pun aku bisa melewatkannya. Namun Kau tahu aku hanya makhluk ciptaan-Mu yang lemah. Yang sesekali mencoba dan berpura-pura tangguh untuk meniti jalan yang sudah Kau pilihkan untukku. Tapi di balik itu semua, nyatanya aku masih sangat rapuh. Aku tak lebih hanya berpura-pura tangguh. Sementara Kau tahu pasti gemuruh yang bercokol kokoh di hatiku.


Tak terlalu sulit memang bagi-Mu, tapi bagiku itu laksana batu kerikil kecil nan tajam, pun banyak, yang bisa menggemboskan ban sepedaku. Setelah itu, aku tak punya lain pilihan, selain harus berjalan kaki menempuh sisa perjalananku yang belum selesai. Lengkap dengan menuntun sepedaku yang gembos karena kerikil-Mu. Berjalan dengan tungkai kaki yang lemah ditambah beban menggiring sepeda yang gembos itu, bebanku pun terasa lebih berat. Padahal Kau tahu persis jarak tempuhku tidak pendek.


Tapi apa guna aku mengeluh? Hanya akan mengkerdilkan ketegapan jalanku. Mendiskreditkan kekuatanku yang masih jauh tersembunyi. Sebab itulah aku ingin Kau selalu menghadirkan titik nol dalam setiap detikku. Kalaulah permintaanku itu terlalu berlebihan, setidaknya Kau bersedia menyisipkan beberapa detik saja titik nol padaku dalam setiap hari-hari yang Kau hadiahkan untukku. Sebab dalam titik nol itulah aku bisa sepenuhnya berserah pada-Mu. Ridha atas goresan takdir-Mu. Dan bisa sedikit saja merasa bahagia atas itu. Sebab titik bahagiaku ada pada titik nol-Mu. Bahagiaku adalah saat Kau memelukku erat. Saat aku tak mampu meminta apa-apa pada-Mu, saat aku tak mampu berkata apa pun kepada-Mu, hanya pengaduan lirih yang terlalu bergemuruh di kalbu. Pengaduan yang kubahasakan lewat deraian airmata. Namun, justru di titik itulah aku lekat dengan bahagiaku. Karena Kau memelukku erat dengan kasih-Mu. 

Tuesday, August 06, 2013

Catatan Monolog

Untuk kesekian kalinya aku menikmati kesendirianku di kos tingkat dua ini. Apa rasanya? Ga perlu ditanya. Rasanya pasti sepi. Kosong. Hampa. Nelangsa. Aku serasa hantu gentayangan yang bebas mau ngapain apa saja di kos ini tanpa seorang pun tahu apa yang aku lakukan. Aku mau jungkir balik kek, mau latihan sirkus kek, mau jumpalitan kek, itu semua asli bisa kulakukan. Tapi aku tak perlu melakukan itu. Sebab, sekalipun aku secara fisik hanya seorang diri tapi aku tahu ada kakang kawah dan adi ari-ari yang selalu menemaniku. Apa kabar ya mereka disana? Hey, tak lelahkah kalian menemaniku selalu? Kalau boleh dan kalau bisa, aku ingin bertukar tempat dengan kalian.

Seperti apa ya rasanya menemani saudara yang sedari di dalam kandungan selalu bersama, menghirup udara dan mencuri saripati nutrisi makanan lewat placenta ibu bersama-sama? Berbagi hidup untuk terus bertumbuh dan berkembang menuju bentuk paling sempurna. Dan kemudian kita terpaksa dipisahkan persis  pada saat hari kelahiran tiba. Pada saat itu kita resmi menjalani dua dunia yang sama sekali berbeda. Kalian dikorbankan, atau lebih tepatnya berkorban demi keberlangsungan hidupku yang pada suatu waktu kita akan dipertemukan kembali. Kalau lah memang begitu adanya, tidakkah kita bisa bertukar tempat hanya untuk episode menjelang lebaran yang sepi ini? Eh omong-omong, apakah kalian juga merayakan dan merasakan berlebaran? Yang sebulan sebelumnya juga haruskah berpuasa? Ataukah kalian juga memiliki ibu dan bapak, saudara-saudara persis seperti kopian keluarga besar yang kupunya? Hey, katakan padaku wahai kakang kawah dan adi ari-ari. Sebab aku ingin tahu. Aku butuh tahu tentang dunia yang kalian punya. Sebab sudah terlalu lama aku mengacuhkan kalian. Pastilah kalian kecewa memiliki saudara sepertiku. Padahal kalian selalu ada buatku. Menemani saat-saat kesendirianku. Untuk menebus keacuhanku itu, makanya aku ingin bertukar tempat dengan kalian. Aku ingin merasakan repotnya kalian menemaniku. Juga kecewanya kalian yang selalu aku acuhkan. Maafkan jika baru kali ini aku melakukan monolog dengan kalian. Tapi kutahu kalian mendengarku. Dan terimakasih untuk segala pengorbanan yang telah kalian persembahkan bagi keberlangsungan hidupku. Suatu waktu, aku pasti akan berbahagia bertemu kalian lagi nanti. Tapi sebelum masa itu tiba, tetaplah disini menemaniku. Sebab aku memang butuh teman. Dan terpenting sebaik kalian.

*Sebuah catatan dan percakapan monolog dengan saudara jauh namun sesungguhnya sangat dekat.
Sebuah salam untuk kakang kawah dan adi ari-ariku di alam mereka yang tak kutahu seperti apa.  
Sebuah catatan monolog selepas magrib menjelang isya.*

Friday, August 02, 2013

The Real of Homesick


Inilah sakit itu. Akumulasi dari keinginan-keinginan kecil yang belum juga kesampaian. Akhirnya sebulir keinginan itu perlahan namun pasti menunjukkan kekuatannya. Merobohkan system pertahanan yang paling dihindarkan.

Inilah bentuk kesakitan itu. Rupa yang terus bermetamorfosa menuju bentuk paling sempurna. Tanpa lelah.

Inilah rindu yang terus membelenggu. Hampir mematikan semua imun tubuh. Atau jangan-jangan malah sudah?

Ya, nyata-nyata kurasa bahwa inilah sakit itu. Sebongkah perasaan rindu yang terus menerus menggulung arus waktu yang sayangnya tak mampu kutangkup, terlebih lagi untuk kusalurkan.

Alangkah sakit rupanya merindu itu. Terlebih merindu mereka yang teramat jauh. Ah, rupanya bukan! Bukan mereka yang jauh. Akulah yang jauh. Lebih tepatnya akulah yang memilih menjauh. Memilih terlempar jauh dari segi dimensi jarak, ruang dan waktu dari mereka yang kutahu terus menggelindingkan do’a untukku.

Rindu ini, sakit merindu ini, mungkin masih akan terus membelengguku. Sampai kapan, entah! Menyiksaku dengan cara yang paling manis dari semua cara yang ada. Menyusup lewat alam mimpi. Berkembang liar dalam dunia imaji. Dan menyapaku dengan berbagai cara-cara lainnya. Duhai, alangkah sakit rupanya merindu.

Masih terrekam jelas sebentuk wajah satu demi satu orang-orang yang sedari dulu kusebut sebagai keluarga. Satu demi satu wajah itu berganti dalam slide imajiku. Wajah ibu yang mulai menua. Wajah ayah yang tampak lelah. Juga wajah-wajah bocah yang tampak selalu ceria. Ah, semua wajah itu entah dengan kejamnya atau malah dengan baiknya menyusup lewat alam mimpi. Membuatku seakan sesak napas. Memaksaku harus semakin keras membangun benteng pertahanan.  Membuatku dengan tanpa sengaja menabung pundi-pundi rindu. Dan betapa sakitnya bikin aku ngilu.