Thursday, August 20, 2015

Mudah-mudahan Tidak Begitu



Tadi siang aku berkesempatan makan siang bersama seorang teman setelah sekian lama kita gak spend time together even just for a little thing. I love this moment, of course. Karena ketika kita makan, kita gak cuma sekedar makan. Banyak cerita dan berita terkini yang bisa kita bagi. Bukan tentang sesiapa, tapi tentang dunia kita sendiri. Kita gak ngomongin gossip seleb karena aku bukan tipikal orang yang update akan hal itu. Dan itu gak penting, tentu saja.

Cerita siang tadi berfokus pada pernikahan. Awalnya dia bercerita tentang dirinya sendiri yang ianya adalah calon pengantin. Dia cerita tentang ribetnya ngurus ini itu tentang pernikahan. Penentuan waktu juga menjadi sumber ‘kepusingannya. Kemudian percakapan bergeser menjadi penyebutan nama A, B, C, D yang baru aja nikah, dan yang akan nikah dalam waktu dekat. Maka terdatalah mereka, orang2 terdekat yang kita kenal berlomba2 menuju gerbang pernikahan.

Berbagai latar belakang pernikahan pun beragam. Dari 4 nama, aku tuturkan 2 saja ya. Ada yang setelah sekian lama – lebih dari 3 tahun – berhubungan sepasang kekasih tetapi tak direstui oleh pihak keluarga si perempuan, tapi baru Minggu lalu akhirnya tersenyum senang karena perjuangannya kini berbuah menang. Mereka akhirnya menikah. Kronologinya? Si lelaki nekat mendatangi orang tua si perempuan, kemudian dia pun mendapat tantangan besar. Ortu si perempuan menantang tamunya untuk menikahi anaknya esok hari. Voilaaaa… maka menikahlah mereka. Sampai disini, saya harus bilang “itu hebat!”. Allah memang sang Penjodoh terbaik.

Ada lagi, si B, baru minggu lalu dilamar dan akan menikah selambat2nya akhir tahun ini, begitu rencananya. Kronologinya? Si B ini perempuan ya. Asli Jogja, tapi setahun lalu dia tinggal di Kalimantan. Hubungan mereka bermula lewat perkenalan, ajang perjodohan lebih tepatnya, dari seorang teman. Ya teman makan siang saya ini, salah satunya. Hehe. Karena mereka berdua. Tadinya teman makan siangku ini ngerekomendasiin aku buat temen lelakinya itu. Tapi aku dinilai terlalu galak oleh temanku lainnya. Jadinya otomatis di black list lah saya. Ahahaha. Oke, lupakan part ini. Kita focus ke mereka. Jadi, berhubunganlah mereka ini secara jarak jauh. They had met before, but never know deeper each other. They built their long distance relationship between Yogyakarta and Kalimantan. Tapi sekarang tidak lagi. The woman has come to her homeland. It’s great, right? Obviously. Kalau sudah jodoh, bisa bilang apa? Lagi2 cuma bisa bilang Allah selalu punya cara.

Tapi dibalik cerita yang mengagumkan di atas, aku terkejut dengan penuturan sisi lain cerita temenku. Menurut temenku, lelaki ini setahun yang lalu punya pacar dan putus. Kini jadi mantan dong ya? Nah, mantannya si lelaki itu kabarnya akan nikah bulan Desember tahun ini. Sementara si lelaki baru ja ngelamar temenku dan nentuin bulan pernikahannya direncanakan bulan November. Nah loh?? Aku sih sejujurnya ga mikir apa2 tentang kronologi ini. Apakah ini semacam ajang balap2an nikahan atau apa. Tapi setelah denger argument temenku jadinya aku ya gitu deh. Agak mikir kesitu juga. Bukan mikir tentang ajang balapannya, tapi jadi semacam bercermin dan berdo’a dalam hati. Mudah2an aku dijauhkan dari hal yang begini. Mudah2an aku cukup ‘baik’ untuk dijauhkan dari hal2 yang begini. Aamiin.

Kesannya mengagumkan kalau kita baru deket sama seseorang, kemudian dalam waktu singkat kita dilamar dan langsung diajakin nikah. Buat yang gak tau, pasti it sounds amazing. Mungkin begitu cara Tuhan menjodohkan kita. Tapi kalo ada kronologi begini kan jadi ngerasa gimana gitu. Kan semacam korban. Nah, aku jadi agak mikir. Bercermin. Mudah2an kalau saatnya aku harus menikah, tidak ada unsur aneh2 dibaliknya. Belajar jadi lebih mawas diri. Mudah2an calon suamiku kelak cintanya tulus. Gak ada sisa cinta atau motif lain dari cintanya yang lalu. It hurts, anyway. Pun, aku jadi bersyukur juga, untung aja lelaki itu gak jadi dikenalin sama aku. Bukannya aku kegeeran bakal dinikahin dia seandainya aku lah orang yang dikenalkan kepadanya, sungguh bukan itu. Ya, jadi bersyukur aja. Buatku, bukan begitu caranya untuk menuju ke pernikahan. Aku masih cukup sabar menunggu keajaiban Tuhan. Kenapa harus tidak percaya pada rencana Allah?

Aku sih berdo’a, mudah2an si lelaki gak ada motif begitu. Kalau beneran ada kan kasian ceweknya. Sebagai orang luar, aku doain semoga mereka berdua berbahagia. Kini dan nanti. Nah dari cerita orang2 pun kita bisa belajar. Kita selalu butuh cermin untuk ‘merias’ diri. Merias untuk mawas diri itu perlu.

Tuesday, August 18, 2015

Just Perspective of Mine



Kebiasaan deh gw, kalo udah di depan laptop jadi bingung mau nulis apa. Padahal tadinya udah punya kerangka mau nulis apa. Ga cuma satu malah. Sejumlah moment pasca mudik pengen gw kristalkan di jurnal ini. Moment2 terbaik sewaktu di rumah pengen gw paparin lagi. Tapi ya gitu deh, namanya juga Ucrit, sifat pelupanya akut parah. Jadi kalo nanti tulisan ini ga jelas alurnya ngomongin apa, ya harap dimaklumin ya pemirsa.

Hmm… apa ya? Gw beneran bingung mau nulis apa. Lol
 
Oke. I got it. Kemarin pas lebaran di rumah, gw ketemu sama sohib gw semasa SMA. Cewek, dan belum menikah. Kita seumuran. Gw sih bebas cerita ke sohib gw ini tentang apa aja, khususnya tentang cowok. Nah, karena momennya lebaran, biasa kan ya keluarga dan tetangga pada nanyain tentang sesuatu yang sebenarnya ga pengen kita dengar. Apalagi kalo ga tentang pertanyaan seputar pernikahan, yang ujung2nya jatuh ke lembah terror, pemirsa. Sebab pertanyaan demikian bikin sakit telinga dan pening kepala.

Di umur kita yang sudah layak menikah adalah bukan maunya kita masih sendiri. Siapa coba yang ga mau menikah? Kita juga mau kali. Tapi mbok ya jangan diteror segitu hebatnya lah. Kita berdua memang ga punya kekasih, tapi yang ngedeketin kita banyak. Lol. Kita cuma agak berhati-hati milih yang terbaik untuk pendamping hidup kita nanti. Karena untuk menuju kesana, ke pernikahan, banyak pertimbangan yang harus ditakar seorang perempuan. Oke, gw agak susah ngomongin perspektif tentang kita berdua, jadi akan gw persempit ke perspektif gw sendiri.

Untuk menikah, setiap orang punya pertimbangannya masing2. Laki2 dan perempuan. Gw sendiri punya pertimbangan yang mungkin sama dengan pertimbangan orang kebanyakan. Dan kemungkinan lain bisa saja berbeda. Barangkali ini cuma berbeda versi dan berbeda dalam cara memaparkan.
Sejujurnya di usia gw yang sekarang, perspektif gw tentang suami agak sedikit “bergeser”.  Gw ga ngerti ini baik atau malah sebaliknya. Setahun belakangan ini, lewat berbagai peristiwa yang gw hadapi, akhirnya gw ‘dituntun’ ke jalan ini. Kriteria suami sewaktu gw berumur 23 tahun misalnya berbeda dengan kriteria suami ketika saya berumur sekarang ini. Kalo dulu rasanya gw ngerasa cukup sama suami yang bisa bikin gw nyaman. Nah, kalo sekarang itu ga cukup buat gw. Gw lebih condong berfokus kepada seorang imam. Gw sadar pengetahuan agama gw minim, makanya gw ngerasa gw butuh payung yang meneduhkan gw dalam sosok imam. Dia yang akan menjadi panutan gw dalam membangun rumah tangga. Tentang cinta? Ga usah ditanyakan, buat gw itu mutlak ada. Karena gw bukan orang yang mudah jatuh cinta. Kalo gw ga suka sama seseorang sulit sekali buat gw memaksakan diri untuk mengenal orang itu lebih dekat. Atau bahkan membalas pesan dan menjawab panggilan teleponnya. Tapi kalo gw nya udah cinta sama seseorang, keadaan sesulit apapun gw percaya sama dia. Gw percaya kami bisa melalui apa saja.

Ramadhan kemarin, gw nyempatin diri sholat tarawih di masjid yang agak jauh. Bukan masjid yang dekat dari lingkungan kos. Bersama teman gw, kami hunting masjid yang sekiranya bacaan surahnya bagus. Disitu, gw takjub. Gw suka mendengar bacaan imamnya, karena memang terdengar bagus dan merdu. Ternyata enak ya kalo diimamin sama orang yang bacaan Al-Qur’annya bagus? Nah, imaji gw pun meluas. Gw pengen punya suami yang kayak gitu. Yang tiap kali ngimamin gw sholat, gw bergetar karenanya. Nah, pandangan gw tentang suami akhirnya agak bergeser ke imam. Gw pengen dibimbing ke jannahnya Allah SWT. Gw ingin berjodoh sama suami gw bukan cuma di dunia, tapi juga di akhirat. Nah, jadi lah gw ngerasa standar gw untuk calon suami gw nanti bukannya menurun, tapi malah naik. Me?? I try my best to be his choice.

Tetiba gw ingat ada yang bilang tentang seni meningkatkan kualitas diri. Jadi, ketika kamu berharap sesuatu, maka kamu juga harus melakukan perbaikan2 pada dirimu. Misalnya, pasanganmu mungkin sekarang ini nilainya 8, kamu 6. Nah, ada beda kan? 6 tidak sama dengan 8. Belum pantas, makanya belum dipertemukan dalam jodoh. Disinilah kamu berkewajiban memantaskan diri dengannya. Syukur2 kamu bisa lebih baik darinya, tapi minimal ya nilainya sama lah. Nah, gw mengadopsi teori itu. Gw ngarepin sosok imam yang bisa membimbing gw dunia dan ukhrawi, jadi gw harus melakukan perbaikan disana-disini. Gw suka banget liat cowok pake sarung. Rasanya lebih adem dan enak di pandang. Standar ketampanannya pun rasanya meningkat tajam. Me? Gw mau menyelaraskan itu. Kalau dia aja pake sarung, masa gw pake jeans? Ga cocok kan? Makanya gw lagi belajar berubah. Perubahan kecil yang gw coba lakukan sekarang ini, gw lagi mencoba stay away from jeans. Gw lagi belajar pake rok. Agak susah memang, tapi gw coba pelan2. Gw juga berusaha meningkatkan kualitas diri gw yang lain. Dan semuanya dimuai dengan bertahap dan pelan2. Semoga saja cara ini bekerja. Aamiin.

Jadi ya gitu, tetap ngalor-ngidul kan tulisannya? Ahahha. Tak apa lah ya, yang penting udah terapi nulis.

Nite, people…
Zzzzzzzzz

Saturday, August 15, 2015

Pengakuan Semu



Terkadang, yang kita butuhkan hanyalah sebuah pengakuan.


Kemarin saya mendapat kiriman buku dari seorang sahabat. Rasanya senang luar biasa. (So, I thank to Ika who bought and sent this book as a gift to me. I got it free. Hurraaaaay! :* ) Gimana nggak coba? Buku ini adalah buku karangan penulis favorit saya, Fahd Pahdepie. Pasalnya berbulan-bulan saya hunting buku ini di semua cabang Gramedia di Yogyakarta, tapi tak juga kunjung menemukan. Buku ini kehabisan stock di semua cabangnya. Padahal saya terhitung rajin banget ‘ngapel’ ke tempat ini. Alhasil pencarian saya pun berbuah sia-sia. Makanya pas teman saya kirim pesan melalui whatsApp messenger dan menawarkan buku ini, saya ga ragu untuk nitip dia. Eh, taunya dia baik banget ngasih buku ini sebagai hadiah buatk saya. Thanks for this friendship, Ika. If you were a guy, I ensure myself that I will fall in love with you easily. Lol


Karena buku ini sudah sekian lama saya cari jadi saya gak menunggu waktu lebih lama untuk membuka dan membacanya. Langsung aja saya buka buku itu dan menjelajahi halaman demi halamannya. Tadaaaa… baru buka halaman pertamanya aja buku ini berhasil membuat saya entah. Tetiba ngerasa cemburu luar biasa sama istri penulisnya. Sejauh yang saya baca, penulis mendedikasikan tulisannya untuk istrinya. Ada nyawa dan cinta luar biasa untuk istrinya di setiap tulisannya. Saya bisa menangkap getar itu. Huhu, saya mendadak iri setengah mati baca buku itu. Saya kan juga mau dibikinin tulisan bagus kayak gitu. Tapi siapa coba yang mau bikinin saya tulisan dan menjadikan saya sebagai subyek dalam tulisannya? Nope! *Poor me*


Membaca buku ini benar2 membuat saya bercermin. For some parts, I find myself in loving someone. Terkadang saya merasa saya berperan sebagai Fahd Pahdepie, saya punya rasa yang kurang lebih sama dengan pengarang. Saya suka menulis, meskipun tidak sebagus milik Fahd. Sesekali tulisan saya berporos atas nama cinta. Tertuju untuk satu nama yang ianya ada di kedalaman hati saya. In other parts, I feel like I was Rizqa Abidin, her beloved wife. Saya bisa mencintai lelaki sebesar cinta Rizqa pada Fahd. Saya bersedia mendukung lelaki terkasih saya dalam keadaan apapun demi keutuhan cinta dan jalan menuju bahagia.


Buku ini mendorong saya untuk jujur dalam mencintai seseorang. Betapa segala hal terasa jauh lebih mudah ketika kita akrab dengan kejujuran. Tak perlu ada yang disembunyikan. Apalagi dalam cinta. But Me?? Saya adalah orang yang paling sulit mengaku bahwa saya jatuh hati pada seeorang. Saya lebih memilih memendam rasa ini entah di alam mana. Sekalipun saya tahu, itu sakit. Saya memilih menanggungnya. Rasanya lebih baik begitu. Tapi lewat  buku ini saya seakan diingatkan sesuatu, saya didorong untuk melakukan sesuatu. Entah kenapa saya terus-terusan didorong untuk jujur. Saya dipaksa untuk mengatakan saya cinta dia. Ingin sekali saya  mengetik pesan atas nama pengakuan dan mengirimkan pesan itu padanya. Akhirnya berperanglah saya dengan diri saya sendiri. Saya hampir gila karena ini. Saya mengakui bahwa saya cinta, tapi toh tak bisa juga saya jujur kepadanya. Saya menyerah. Saya kalah. Saya tak pernah ahli dalam berbahasa cinta. Akhirnya saya tak menulis dan mengirimkan apa-apa padanya. Begitulah, saya selalu kalah. Dan rasa ini tetap merdeka di alam maya.


Dorongan untuk sebuah pengakuan, imbauan untuk berekpsresi jujur akhirnya cuma menjadi moral lesson buku itu yang gagal saya terapkan. 

Sekian.

Friday, August 14, 2015

Happy Friday

Untukmu, akhirnya aku memilih ada. Entah apakah kau akan merasakan getarnya atau kau malah memilih memicingkan mata.

Happy Friday...

Tuesday, August 11, 2015

Hunting is over

Selasa yang penuh asa. Buku yang dicari akhirnya ada. Selamat menikmati perjalanan, Rumah Tangga.

29(4)88. Noted!
:))))

Monday, August 10, 2015

Never Stop Learning!!!

Sekolah hanyalah sebuah gedung. Sebuah bangunan fisik. Sejatinya, pada semesta lah kita belajar segala. Dan Tuhan adalah Mahagurunya. Selamat hari Senin...